"Menggugat Cipayung": Kemanakah Mahasiswa?...

Jakarta - Sosial

"Menggugat Cipayung": Kemanakah Mahasiswa?...

Bagi kita sebagai masyarakat madani, tentu tak asing lagi dengan “Kelompok Cipayung” sebagai sebuah organisasi mahasiswa (extra kampus) yang sangat peduli terhadap kemajuan dan kemakmuran bangsa, serta kelompok yang lahir dari jiwa kritis terhadap penindasan dan kesewenag-wenangan para penguasa. Karena realitanya, Kelompok Cipayung (PMKRI, GMKI, PMII, HMI, dan GMNI) merupakan instansi dari masyarakat madani (civil society) dan juga sejarah bangsa ini yang tak lepas dari peran perjuangan kaum pemudanya, khususnya mahasiswa.

Namun dalam perkambangannya kini, mahasiswa dalam hal ini khususnya kelompok Cipayung seakan-akan telah mati suri. Padahal, situasi nasional bangsa ini terus saja diramaikan dengan berbagai dinamika sosial, politik, budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain yang tak pernah habis dan mendapatkan solusinya. Kelompok Cipayung yang didirikan pada tanggal 22 Januari 1972 ini, sebagai ruang perjuangan kaum pemuda dalam upaya memajukan, mencerdaskan, membangun anak bangsa, dan juga lepas dari sebuah penindasan rezim pemimpin otoriter dikala itu.

Kembali menengok sejarah perjuangan bangsa ini, peran pemuda sangatlah dominan dalam mengarahkan, menyatukan, dan membenahi Negara yang kita cintai ini. Hal ini terlihat dengan dimulai berdirinya “Budi Utomo” pada tanggal 20 Mei 1908 yang digawangi oleh Sutomo dan kawan-kawan sesama mahasiswa STOVIA. Ditengah penindasan dan kesewenang-wenangan kaum imperialis kolonialis dibumi nusantara ini, peran pemuda melalui Budi Utomo inilah yang berusaha: memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan perdagangan, teknik dan industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan. Walaupun dalam perkembangannya, Budi Utomo ini redup pola gerakannya karena diambil-alih oleh kalangan tua.
Tak cukup sampai disitu, Moh. Yamin dan kawan-kawan sebagai pemuda Indonesia yang tergabung dari berbagai organisasi primordial kala itu pun menyatakan kesatuannya dalam bingkai “Sumpah Pemuda” yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928 di gedung Indonesische Clubgebouw, Kramat Raya 106, Jakarta. Hal ini menjadi sebuah jawaban dari kegelisan anak bangsa yang ingin bersatu padu bahu-membahu lepas dari kungkungan penindasan dan kekejaman kaum penjajah.

Pergolakan dan perjuangan ini terus berkobar, demi satu tekad lepas dari kungkungan dan penindasan penjajah. Para pemuda yang dimotori oleh Bung Karno dan Bung Hatta pun berjuang melalui PNI dan PARINDO-nya. Melalui PNI dan PARINDO inilah mereka berdua mengkader masyarakat Indonesia, agar mengerti, memahami, dan bergerak melawan kesewenag-wenangan, penindasan, dan pembodohan yang dilakukan para penjajah. Hingga pada akhirnya, kesadaran masyarakat untuk berjuang pun kian besarnya. Sampai pada titik klimaknya, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekannya tepat pada tanggal 17 Agustust 1945.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Negara ini pun tak lepas dari berbagai dinamikan dan cobaan yang masih harus dilaluinya. Namun, adanya berbagai problematika kebangsaan yang ada ini bukan hanya dari pihak luar saja, namun juga dari pihak dalam yang berasal dari anak bangsa yang merasa kecewa, tidak mendapatkan ruang, perbedaan pemikiran, dan juga menginginkan secuil ruang kekuasaan. Penjajah menginginkan kembali Indonesia dalam kungkungannya sedangkan banyaknya anak bangsa yang memberontak dengan mendirikan Negara Islam, Negara komunis, maupun daerah-daerah yang menginginkan lepas (merdeka) dari NKRI.

Puncaknya, terjadilah peristiwa G30S/PKI yang mengakibatkan beberapa jendral dari TNI mati hanya dalam waktu semalam saja. Ditambah dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang yang tak tentu arah ini semakin mengakibatkan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Sukarno, akhirnya menyulut kemarahan mahasiswa lewat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pemerintah dengan Tritura- nya, yakni: bubarankan PKI, bersihkan kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang.

Gerakan mahasiswa semakin menjadi-jadi, ketika realitanya pemerintah kurang begitu mengakomodir kepentingannya. Pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Bung Karno pun goyang, lebih-lebih dengan turunnya Surat Perintah 11 Maret untuk Pak Harto. Gerakan mahasiswa ini menjalar kemana-mana diseluruh Indonesia, dan pak Harto pun perlahan namun pasti dengan mudahnya menggatikan Bung Karno sebagai Presiden. Rezim pun kini telah berganti, menjadi orde baru yang digawangi Pak Harto dengan janji-janji pembangunan hampir diseluruh lini kehidupan di Indonesia.

Berdirinya orde baru ini, dalam perjalanannya sarat akan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Demi melanggengkan jabatan dan memperkaya diri, rezim orde baru melakukan berbagai cara untuk membungkam jiwa kritis masyarakat, khususnya masyarakat madani (LSM, OKP, Mahasiswa, dan paguyuban).  Hal ini, mulai dari merampingkan partai politik menjadi 3 partai (Golkar, PDI, dan PPP), pengkultusan atas nama Pancasila dan UUD 45, dilahirkannya organisasi KNPI guna mengkerdilkan kelompok Cipayung, dan lebih parahnya lagi dengan adanya aturan NKK/BKK bagi mahasiswa sebagai bentuk pengkerdilan jatidiri mahasiswa.

Rezim orde baru dengan otoriternya telah membungkam demokratisasi yang pernah tumbuh subur dibumi pertiwi ini, hanya demi kepentingan-kepentingan pribadi semata. Hingga pada akhirnya, masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa sudah muak dengan arah gerak bangsa yang kian lama semakin carut-marut saja. Tepatnya pada 21 Mei 1998, pemerintah dibawah pimpinan Presiden Suharto dipaksa mengundurkan diri setelah 32 tahun lamanya berkuasa.

Gerakan mahasiswa 98 dengan begitu massif dan dahsyatnya serta kepentingan elit politik ini telah melengserkan rezim orde baru yang sudah lama berkuasa. Akhirnya kini berada pada era reformasi dan keluar dari sebuah rezim otoriter serta penuh dengan penyimpangannya. Reformasi ini, dalam perjalanannya sedikit banyak membuka ruang positif maupun negatif dengan begitu pesatnya. Bahkan, tak jarang kebebasan bersuara dan berpendapat dalam sebuah ruang demokratisasi ini disalah gunakan oleh segelintir elit politik dengan seenak hatinya saja.

Kelompok Cipayung sebagai komunitas dari berbagai organisasi kemahasiswaan dengan berbagai macam ideologi dan merupakan instansi dari masyarakat madani, dengan jiwa kritis, kemandirian, dan kepedulian atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya, dan kebangsaannya ini seakan-akan tak lagi terdengar gaung, jiwa kritis, dan kepeduliaannya. Padahal ruang demokratisasi dan publikasi semakin terbuka lebar, lebih-lebih mengingat pengurus besar atau pusatnya berada di Ibukota Jakarta semua.

Mengingat demikian adanya, tentunya kelompok cipayung sebagai bagian dari civil society ini telah jauh menyimpang dari apa yang dikatakan oleh Larry Diamond, dimana civil society adalah melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, otonom dari negara, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama. Dari sini, patut kita pertanyakan pola kaderisasi yang dilakukan organisasi-organisasi yang masuk dalam kelompok cipayung ini. Dan hal ini menandakan adanya pergeseran nilai dalam pola pikir dan gerak dari masing-masing organisasi yang tergabung dalam kelompok cipayung tersebut. 


Padahal realitanya, sangat banyak kita temui berbagai macam kasus korupsi yang dilakukan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif, baik di tingkat bawah sampai atas. Namun, kalau pun kita temui adanya pengawalan, aksi, dan advokasi yang dilakukan oleh kelompok cipayung ini hanya berada ditataran daerah saja, sedangkan di Jakarta sebagai pusatnya justru seakan-akan tak ada lagi nama dan gaungnya. Lantas, masih konsistenkah kaderisasi penerus anak bangsa yang dilakukan oleh kelompok cipayung? atau mereka diam seakan tak berdaya, mengingat para senior-senior merekalah yang justru berada dibirokrasi pemerintah dan melakukan berbagai macam penyimpangan di negeri ini? atau malah mereka berbagi kue (bersetubuh) dengan para senior-seniornya dalam berbagai kasus penyimpangan di negeri ini? Lebih-lebih, dengan dideklarasikannnya Alumni Kelompok Cipayung pada tanggal 25 Januari 2012 lalu.

Mtr
(Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS dan Ketua Umum PMII JAK-SEL XI)

Related

Peristiwa 8273194835253708298
jasa-ekspedisi
Ajang Berita

Hubungi kami

Nama

Email *

Pesan *

Jumlah Pengunjung

item