Menggali Teori Transisi Politik Dari Rezim Totaliter Menuju Rezim Yang Lebih Demokratis di Indonesia"
https://www.jakartaforum.web.id/2016/05/menggali-teori-transisi-politik-dari_12.html
Jakarta - Transisi politik dibeberapa belahan negara di dunia banyak diperbincangkan oleh ilmuwan, negarawan dan bahkan masyarakat umum. Perbincangannya tidak hanya tertuju pada soal era kelam dan tragis yang dialami masyarakat / rakyat dibeberapa negara yang telah melewatinya, melainkan telah merambah luas sampai pada sisi manfaat / sisi positif dari keberadaan rezim otoriter masa lalu (apakah ia suatu rezim otoriter personal atau suatu rezim militer / totaliter sekalipun). Fakta ini merupakan suatu fakta yang memang harus diterima rakyat karena pada sisi ini ternyata merupakan contoh pelajaran yang dapat dikembangkan dan diambil hikmahnya serta sekaligus bisa menginspirasi semua pihak untuk membuat kajian atau perenungan lebih dalam tentang bagaimana sebaiknya teori transisi politik itu dijalankan pada era kepemimpinan yang dianggap demokratis guna mencapai tujuan hidup bernegara.
TEORI KEKUASAAN NEGARA
Pemahaman dan keyakinan seorang pemimpin pada rezim militer atau pada rezim otoriter personal masa lalu biasanya berangkat dari dan/ atau searah dengan hasil pilihan dari suatu pemahaman Sang Pemimpin itu sendiri dalam mempelajari teori-teori tentang timbulnya Negara, tentang teori Tujuan Negara seperti digagas oleh Shangyang, Nicollo Machiavelli, Dante Alleghiere, Immanuel Kant, Kaum Sosialis, Kaum Kapitalis, dll dan/ atau berangkat dari pemahaman tentang teori Fungsi Negara dikaitkan dengan teori-teori lain. Dari sudut hukum tata negarapun misalnya diperkenalkan Teori Pembenaran / Penghalalan Negara (Rechtvaardigings Theorieen) yang meliputi, teori theokrasi, teori kekuasaan, teori hukum, teori Kedaulatan, teori Pengesahan Kekuasaan, dll. Teori-teori tentang kekuasaan negara yang dipakai dan dijalankan oleh sang pemimpin tersebut biasanya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
TEORI KEKUASAAN NEGARA
Pemahaman dan keyakinan seorang pemimpin pada rezim militer atau pada rezim otoriter personal masa lalu biasanya berangkat dari dan/ atau searah dengan hasil pilihan dari suatu pemahaman Sang Pemimpin itu sendiri dalam mempelajari teori-teori tentang timbulnya Negara, tentang teori Tujuan Negara seperti digagas oleh Shangyang, Nicollo Machiavelli, Dante Alleghiere, Immanuel Kant, Kaum Sosialis, Kaum Kapitalis, dll dan/ atau berangkat dari pemahaman tentang teori Fungsi Negara dikaitkan dengan teori-teori lain. Dari sudut hukum tata negarapun misalnya diperkenalkan Teori Pembenaran / Penghalalan Negara (Rechtvaardigings Theorieen) yang meliputi, teori theokrasi, teori kekuasaan, teori hukum, teori Kedaulatan, teori Pengesahan Kekuasaan, dll. Teori-teori tentang kekuasaan negara yang dipakai dan dijalankan oleh sang pemimpin tersebut biasanya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
![]() |
Oleh :
NAJAB KHAN, SH., MH
|
Banyak teori dijadikan rujukan bahkan dipakai oleh sang pemimpin rezim otoriter (baik rezim otoriter personal atau militer) didalam menata kelola negara dan bahkan sampai-sampai teori rujukannya dijalankan secara ketat dan tegas agar rakyat lebih terarah mencapai tujuan negara. Sang Pemimpin otoriter / diktator ataupun yang tidak diktator sekalipun biasanya memiliki pemahaman bahwa salah satu tugas penting yang ditonjolkan selama era kepemimpinannya adalah memastikan bekerjanya satu dari tiga teori tentang fungsi negara seperti diurai dalam Teori Trias Politica, - Montesquie yaitu memastikan bekerjanya Fungsi Legislatif, Fungsi Eksekutif, dan Fungsi Yudikatif sebagai arah cita-cita mencapai tujuan negara. Ada juga Pemimpin Negara yang secara ketat menganut Teori Catur Praja sebagai dasar dirinya memerintah, antara lain meliputi, Regeling - fungsi Perundang-undangan, Bestuur - fungsi pemerintahan, Recht spraak - fungsi kehakiman, Politie - fungsi kepolisian. Selain teori-teori diatas ada juga Pemimpin Negara menggunakan Teori Dwi Praja / Dichotomy sebagai basis tujuan memimpin negaranya, meliputi Policy Making dan Policy Executing. Seorang Pemimpin Negara sering juga menggunakan kajian dari sudut hukum tata negara sebagai rujukan untuk mencapai tujuan bernegara. Teori yang dijadikan landasan oleh seorang pemimpin baik yang diktator dan/ atau yang tidak, biasanya menggunakan teori pembenaran negara / Rechtvaardigings Theorieen dalam menjalankan dan melanggengkan kekuasaan. Teori kekuasaan ini menurut beberapa ahli dibedakan menjadi beberapa teori seperti Teori Theokrasi, Teori Kekuasaan, Teori Hukum dan Teori Kedaulatan. Ada beberapa ahli membedakannya menjadi Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Hukum, Teori Kedaulatan Rakyat.
Khusus untuk konteks Indonesia, Para Pendiri bangsa Indonesia telah memikirkan, memilih dan menerapkan teori kedaulatan rakyat sebagai pilihan dan rujukannya dalam mendirikan dan membangun Negara RI. Para pendiri bangsa juga mendesain dan menempatkan rakyat lah sang pemilik kedaulatan tertinggi. Teori kedaulatan rakyat ini dalam praktek kenegaraan diaplikasikan oleh Pemimpin Negara melalui pola musyawarah – mufakat agat tujuan negara dicapai secara terstruktur dan terkontrol. Teori kekuasaan dan teori pembenaran negara digunakan oleh sang pemimpin semata-mata untuk membangun Negara RI, untuk mensejahterakan rakyat, untuk mencerdaskan rakyat. Dampak dari tegasnya suatu karakter dianut dan dijalankan oleh seorang pemimpin suatu rezim dalam mempraktekkan teori-teori tersebut sebagai landasan model mencapai tujuan bernegara biasanya sering menimbulkan dampak negatif dan tragis terutama pada rakyat yang tidak sepaham dengan bangunan pilihan teori sang pemimpin tersebut. Dampak ini pula turut menggugah para ilmuwan / peneliti mengkaji dan meneliti lebih jauh efek-efek negatif dari suatu rezim apakah ia otoriter / tidak otoriter dalam menjalankan politik negara. Hasilnya banyak teori-teori baru bermunculan dan sering dianggap sebagai model atau pola baru yang dapat dijadikan roll model oleh siapa pun yang ingin memerintah / menjadi seorang pemimpin yang lebih beradab / lebih demokratis atau bahkan hasil penelitiannya dianggap pula sebagai suatu koreksi atas kekurangan / kelebihan pada suatu rezim otoriter yang personal / yang militeristik.
POLA TRANSISI POLITIK DIBEBERAPA NEGARA TERMASUK INDONESIA
Biasanya pemimpin pada rezim otoriter ataupun tidak otoriter sekalipun selalu mencari cara-cara baru, pola-pola baru dalam menyelesaikan warisan yang ditinggalkan rezim / pemimpin sebelumnya. Kebanyakan model peralihannya ditandai dengan gejolak politik yang tempramental sifatnya dan tidak mulus hasilnya. Pada awalnya Sang Pemimpin selalu melakukan cara-cara kepemimpinan yang bisa diterima rakyatnya apakah dengan cara tegas dan keras atau tidak tegas, namun dalam perjalanannya cara-cara tersebut sering berubah-ubah, lupa diri dan kadang-kadang sang pemimpin secara tiba-tiba dan drastis merubah pola-pola kepemimpinannya, yang maksud dan tujuannya tidak lain agar bisa melanggengkan kekuasaan yang baru diperolehnya. Disadari ataupun tidak, setiap pola atau cara sang pemimpin memperoleh kekuasaan dari rakyatnya untuk memimpin negara yang baru saja diperoleh melalui transisi politik, biasanya memiliki dampak positif dan/ atau negatif terhadap rakyat (ada kelompok rakyat yang diuntungkan dan ada pula kelompok rakyat yang dirugikan).
Dalam konteks Indonesia, setiap pemimpin negara yang akan menggerakan roda pemerintahannya wajib mengingat amanat rakyat agar roda pemerintahan yang dijalankan tidak bertentangan dengan garis kontitusi yang tercermin pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu, 1). Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2). Memajukan kesejahteraan umum, 3). Mencerdaskan kehidupan bangsa, 4). Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebelum dilakukan amandemen terhadap konstitusi negara (UUD 1945), roda pemerintahan dan roda pembangunan dijalankan oleh sang pemimpin sesuai haluan negaranya. UUD 1945 (yang Asli) sekalipun tidak terperinci menguraikan soal transisi politik di Indonesia karena UUD 1945 memang dibuat sederhana, singkat dan supel tetapi arah rujukan sang pemimpin didalam menghadapi realita transisi politik terlihat lebih terarah karena selain Negara RI telah memiliki Garis Besar Haluan Negara sebagai haluannya untuk mengevaluasi pencapaian tujuan bernegara, juga didalam Preambule UUD 1945 cukup terang mengatur dan memberi pedoman arah pada elit politik, masyarakat, rakyat agar menempuh cara-cara / pola musyawarah sebagai basic dalam memecahkan segala permasalahan bangsa Indonesia termasuk memecahkan soal transisi politik bangsanya.
Setelah amandemen UUD 1945 tepatnya sejak tahun 1999 s/d tahun 2002, Pemimpin Negara RI kehilangan arah, terutama kehilangan arah kebijakan pembangunan politik Negara RI karena bukan saja sang pemimpin dibatasi hanya boleh memimpin selama 5 Tahun era kepemimpinannya dan/ atau maksimal 2 kali ikut Pemilu tetapi sang pemimpin Negara di era setelah amandemen UUD 1945 Tahun 2002 tidak memiliki arah kebijakan pembangunan politik negara yang jelas (roda pemerintahan digerakan tanpa GBHN). Berbeda dengan pengaturan konstitusi sebelum amandemen UUD 1945, sang pemimpin dapat melaksanakan tugas-tugas pembangunan politik negara secara terstruktur dan terarah (memiliki GBHN dan bisa di evaluasi) sehingga sekalipun dibatasi selama 5 tahun era kepemimpinannya tetapi jika rakyat masih menghendaki pembangunan mental spiritual dilanjutkan dan pembangunan fisiknya perlu diteruskan maka selama itu pula sang pemimpin dapat mencalonkan dan dipilih kembali tanpa batas periode waktu berapa kali ia memimpin (dengan kata lain tergantung kemampuan sang pemimpin). Selanjutnya pula setelah amandemen UUD 1945, model konstitusi yang dibuat dan disepakati para pendiri bangsa Indonesia pada tahun 1945 tiba-tiba diubah oleh kelompok yang menamakan dirinya ”reformis” dan selanjutnya nasib konstitusi negara diserahkan perubahannya pada wakil rakyat yang ada di MPR periode 1998 s/d 2004 tanpa arah (tanpa kajian filosofi budaya bangsa Indonesia).
Ekses yang dirasakan rakyat adalah Lembaga Musyawarah / Rumah Rakyat (MPR) selaku lembaga pemegang kedaulatan rakyat tertinggi menghadapi masalah bidang Epoleksosbud serius yaitu menghadapi realita pembonsaian dan pengkerdilan dibidang tersebut. Lembaga ini seolah-olah dibuat agar tidak mampu menghasilkan ketetapan apapun yang membatasi berapa kali Rakyat dibolehkan memilih pemimpinnya sekalipun sang pemimpin dianggap sukses memberi rasa aman dan nyaman pada rakyat. Budaya musyawarah yang dimiliki MPR sesuai sila keempat Pancasila dikebiri dan terganggu. Lembaga MPR dibuat untuk tidak bisa berbuat apa-apa dan sulit melakukan transisi politik secara tuntas dan menyeluruh. Kalau rakyat ingin menggali dan menelaah lebih dalam, sebetulnya Indonesia sudah memiliki teori transisi politik yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dan pola transisinya telah tercermin dengan jelas didalam konstitusi negara. Hasil amandemen UUD 1945 terkesan menjadikan pola transisi politik di Indonesia menjadi trend pola transisi yang harus terlebih dahulu dipraktekan di jalanan agar transisi politiknya mudah dan cepat sukses terlaksana, padahal seharusnya transisi politik hasil amandemen diarahkan untuk memperkuat pola-pola transisi politik melalui jalan musyawarah-mufakat seperti digariskan dalam nilai-nilai pancasila.
Model transisi politik di Indonesia jika disadari betul dan dipahami oleh semua pihak terutama oleh para wakil rakyat yang duduk di MPR sebetulnya sudah terlihat jelas arah dan landasan filosofinya dan sebetulnya pula sudah tertata secara baik sesuai amanat konstitusi. Transisi politik oleh Prof. Satya Arinanto dalam bukunya yang berjudul ”Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”, diartikan sebagai suatu peralihan atau perubahan pemerintahan dan terjadi dibeberapa negara. Selanjutnya dikatakan oleh Prof. Satya bahwa dibeberapa negara, kekuatan oposisi telah berubah menjadi penguasa, namun dibeberapa negara lainnya kekuatan oposisi tidak otomatis berubah menjadi penguasa dan masih ada keterkaitan dengan rezim / pemimpin sebelumnya yang lalim sekalipun. Fakta keterkaitan dengan pemimpin rezim sebelumnya sebagaimana digambarkan pada beberapa negara di dunia wajar ditemukan dan dikait-kaitkan karena pemimpin yang lama bukan saja lebih memahami masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan Negaranya tetapi ia sudah pengalaman melewatinya. Keterkaitan dengan era kepemimpinan / rezim sebelumnya sangat diperlukan sebagai sumber informasi dan penentu arah kebijakan politik Negara kedepan dan untuk konteks Indonesia arah kebijakan politik negara telah digariskan dan terkandung dalam nilai-nilai sila Pancasila.
Menurut Rod Hague ada 4 (empat) pola transisi politik yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin menuju demokrasi, Pola pertama adalah pola Transformasi, Pemimpin negara harus mempunyai inisiatif melakukannya demi memperbaiki demokratisasi di negaranya (contoh Brazil, Spanyol). Pola kedua Replacement, kebanyakan kelompok oposisi memimpin perjuangan dengan cara menggulingkan kekuasaan yang ada, alasannya untuk menuju demokrasi (contoh Argentina dan Portugal). Pola Ketiga Tranplacement, demokratisasi yang diusung dan sedang berlangsung merupakan akibat adanya negosiasi / bergaining antara pemerintah dengan kelompok oposisi (contoh Nikaragua, Polandia dan Bolivia). Pola keempat Intervensi, lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksakan berlakunya oleh aktor-aktor dari luar (contoh Granada dan Panama). Konteks Indonesia, pola transisi mana yang lebih cocok diterapkan agar persoalan bangsa dan rakyat Indonesia tidak berlarut-larut terbengkalai dan dapat meminimalkan nafsu birahi intervensi asing di Indonesia serta sekaligus diharapkan dapat menghantarkan bangsa dan Negara RI mencapai cita-cita seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya pada Alinea yang mengatur tentang tujuan bernegara.
A. MASALAH
1. Bagaimana pola dan tahapan teori transisi politik diterapkan di Indonesia serta teori transisi politik seperti apa yang cocok digunakan ?
B. KAJIAN FILOSOFI - TRANSISI POLITIK DI INDONESIA
Menyoroti transisi politik rezim otoriter dibeberapa negara di dunia menuju demokrasi, tergambar jelas 2 (dua) model skenario besar sebagai jawaban atas soal transisi politik dari rezim otoritarian masa lalu (yang pesonal atau yang militeristik). Gambaran pertama adalah a). Mencari solusi-solusi melalui jalan keadilan, teknisnya bisa dilakukan dengan cara membentuk komisi kebenaran atas dugaan pelanggaran HAM untuk kemudian dibawa / diseret ke Pengadilan atau bisa pula tanpa diseret ke Pengadilan dan model ini disesuaikan dengan sistem hukum dan sistem politik hukum negaranya, b). Mewujudkan model penegakan hukum dengan cara mewujudkan jalan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM murni dan cara ini bisa dilakukan melalui proses penegakan hukum nasional yaitu melalui lembaga Peradilan HAM Indonesia atau bisa pula melalui lembaga Peradilan HAM Internasional berdasarkan hukum Internasional. Model ini pula mensyaratkan adanya kesesuaian dengan sistem hukum dan politik hukum yang berlaku di negaranya karena ada negara menganut dan mengenal sistem hukum Deponering dan ada yang tidak. Gambaran kedua adalah mencari solusi-solusi sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia yang lebih mengedepankan landasan filosofi bangsa Indonesia sendiri (yaitu Pancasila).
Landasan filosofi yang dimaksud adalah seperti tercantum pada dasar sila keempat. Model solusi ini dapat dijadikan arah atau pedoman oleh rakyat Indonesia dalam menyelesaikan setiap efek negatif dari setiap kebijakan politik negara yang terlalu ketat, keras atau tegas yang dijalankan sang pemimpin terhadap para oposant yang berseberangan dengan pemerintah atau terhadap para pemberontak sekalipun di Indonesia. Falsafah Pancasila dapat dijadikan rujukan dalam menuntaskan semua persoalan bangsa Indonesia melalui metode amnesti, abolisi, rehabilitasi terhadap rakyat yang memberontak atau melalui metode rekonsiliasi total / menyeluruh terhadap ekses-ekses yang ditimbulkan bila rakyat terlanjur bertindak anarkis dan tidak terkendali lagi dan metode rekonsiliasi ini tidak berkaitan dengan soal ekses dari suatu pemberontakan. Teknis rekonsiliasi bisa pula dilakukan dengan cara-cara musyawarah untuk mufakat diantara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh Pemimpin adat, tokoh agama, elit-elit politik, kelompok oposisi, para tokoh budaya (Para Raja) yang masih eksis di Indonesia dan teknis selanjutnya perlu melibatkan para pemimpin rezim masa lalu. Ekses yang ditimbulkan dari setiap tindakan represif rezim otoritarian realitanya tidak mudah ”dipersalahkan” karena kegiatan-kegiatannya semata-mata juga demi rakyat dan demi negara.
Beberapa ahli berpendapat bahwa pergantian rezim otoriter yang personal atau yang militeristik itu ada yang menimbulkan goncangan nasional dan ada pula yang tidak menimbulkan goncangan terhadap pemerintahan yang baru melanjutkan. Pada konteks ini, menurut hemat penulis tanda-tanda rakyat lebih dewasa dan lebih arif mensikapi soal transisi politik yang bagaimana yang hendak dilewatinya, ukurannya ada pada sikap terbuka dan legowo yang ditunjukan oleh sang pemimpin negara dalam menerima desakan / kritikan dari rakyat melalui cara-cara musyawarah atau bisa pula transisi politiknya menunggu rakyat marah terlebih dahulu dan turun kejalan. Idealnya untuk konteks Indonesia, transisi politiknya tidak harus menunggu masa jabatan seorang pemimpin habis atau menunggu rakyat turun kejalan karena sang pemimpin negara bisa saja terlibat kasus pidana masa lalu dan baru diketahuinya setelah ia menjabat sebagai kepala pemerintahan / kepala negara. Transisi politik bisa pula dilalui dan dilakukan apabila sang pemimpin sudah tidak capable (tidak mampu) menjalankan kebijakan negara atau kebijakannya saling bertentangan atau bahkan melanggar Undang-Undang atau Undang-Undang Dasar 1945 sehingga kebijakannya berdampak menimbulkan terganggunya pencapaian tujuan negara serta rakyat dirugikan.
4 (empat) Pola transisi politik seperti ditulis Rod Hague sebetulnya tidak terlalu cocok diterapkan di Indonesia, karena seorang Pemimpin Negara di Republik Indonesia bukan saja dianggap sebagai Bapak panutan bangsa Indonesia tetapi sosoknya lebih diharapkan oleh rakyat Indonesia agar perilakunya menunjukan sebagai sosok figur yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan mengedepankan musyawarah / mufakat sebagai solusi pemecahannya. Semua pemimpin pada rezim masa lalu baik yang otoriter maupun yang tidak otoriter atau yang sekarang dalam menjalankan tugas negara di Negara Republik Indonesia cenderung memiliki paradigma yang khas dan berkarakter tidak mudah diganggu oleh kelompok-kelompok manapun yang ada (baik kelompok-kelompok oposisi sebagai pengganggu didalam negeri maupun oleh kelompok-kelompok lain diluar negeri / asing). Pada tipe Pemimpin pemerintahan rezim otoriter seperti ditunjukan dan digagas oleh Nicollo Machiavelli dalam teorinya ataupun pada tipe pemimpin yang tidak otoriter biasanya selalu mengedepankan pendekatan keamanan dan ketertiban sebagai cara pembenar dari sang pemimpin berkuasa serta menjalankan tugas kenegaraan agar tujuan negara segera terlaksana. Setiap tindakan represif sang pemimpin untuk mendukung ketertiban dan keamanan sering menimbulkan efek negatif atau kebablasan sehingga menciptakan suasana tidak kondusif serta sering memperparah keadaan. Sebetulnya bangsa Indonesia memiliki filosofi tentang figur Pemimpin dalam era kepemimpinannya yaitu antara lain tercermin dalam kalimat budaya Jawa ”Mikul duwur Mendem Jero” ,dan jika falsafah ini benar-benar dihayati dan dijalankan oleh seluruh elemen bangsa atau rakyat Indonesia maka sebetulnya falsafah ini cukup efektif diterapkan untuk menangkal politik adu domba (De Vide at Impera) atau minimal falsafah ini dapat dijadikan ukuran mencegah asing atau kelompok-kelompok asing yang bermaksud mengintervensi kedaulatan Negara RI yang berfalsafah Pancasila.
Jika dilihat dari peran negara besar seperti Amerika Serikat, ternyata Amerika Serikat termasuk negara yang banyak memberikan andil besar dalam menjatuhkan beberapa rezim otoritarian di dunia (baik pada rezim otoriter militer maupun pada rezim otoriter personal) dan Negara Amerika Serikat sering mendorong agar transisi politik disuatu negara dapat dimunculkan sebagai hasil dari suatu negosiasi antara Pemerintah Otoritarian dengan Kelompok Oposisi. Pemimpin kelompok oposisi sepanjang pengamatan penulis dibeberapa negara di dunia sering dimanfaatkan sebagai boneka asing (antek-antek asing) untuk tujuan melemahkan negara atau bahkan melenyapkan pengaruh falsafah negaranya.
Dalam setiap transisi politik, sang pemimpin formal dituntut untuk tidak hanya memperhatikan pola-pola transisi politik yang mana yang baik dijalankan tetapi sang pemimpin tersebut wajib mempertimbangkan beberapa skenario besar lainnya yang menyangkut eksistensi negara, ketahanan negara agar transisi politiknya tidak mengarah menjadi negara lemah. Skenario besar yang dimaksud dan perlu mendapat perhatian rakyat biasanya berhubungan dengan soal reposisi hubungan Sipil – Militer, soal rekonsiliasi jika transisi politiknya berhubungan dengan pelanggaran HAM murni dan bukan melakukan rekonsiliasi akibat ekses yang ditimbulkan dari suatu pemberontakan terhadap negara, atau soal pengkerdilan militer atau (demiliterisasi), atau bisa pula memperhatikan kaitan dengan soal bagaimana politik hukum negara lebih diperkuat ditengah-tengah terjadinya transisi politik.
C. SKENARIO TEORI KEKUASAAN DISANDINGKAN DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DALAM TRANSISI POLITIK DI INDONESIA
C.1. Model Skenario Reposisi Hubungan Sipil - Militer
Menurut Samuel P. Huntington, sesungguhnya semua rezim Otoritarian apapun tipenya mempunyai kesamaan dalam satu hal yaitu hubungan Sipil – Militer tidak begitu diperhatikan, hubungan Sipil – Militer di Negara Industrial yang demokratis hanya menyebutkan istilah ”kontrol Sipil Obyektif” dan isitilah ini dimaknai sebagai suatu kontrol terhadap 1). Profesionalisme militer yang tinggi dan pengalaman dari Pejabat Militer terhadap hal tersebut, 2). Sub-ordinasi militer yang efektif terhadap pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, 3). Adanya pengakuan dan persetujuan dari pimpinan politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonom bagi militer beserta akibat-akibatnya, 4). Minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.
Menurut Satya Arinanto, Proposisi yang digambarkan diatas masih dianggap relevan untuk konteks Indonesia pada saat ini karena 1). Struktur DPR / MPR yang baru sudah mengakhiri pengangkatan anggota TNI / Polri menjadi anggota DPR / MPR, 2). Transisi menuju demokrasi dilakukan tidak melalui Recovery atau tidak melalui pemulihan TNI dan mengembalikan kemampuan militer secara profesional tetapi konteks Indonesia sedikit unik, justru sipil dan politisi sipil / partai-partai politik malah bergembira terhadap jenderal-jenderal yang bergabung ke partai / sipil dan terdapat fakta pembentukan Kodam-Kodam, Status darurat sipil diberlakukan di Maluku, Aceh dan lain-lain. 3). Militer ditarik dari negara didunia ke-III dan menuju pada militer profesional seperti di Barat. Oleh karenanya Transisi Politik menuju demokrasi untuk konteks Indonesia, kiranya perlu reposisi serius terutama soal reposisi hubungan sipil – militer dalam arti menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja. Reposisi hubungan sipil –militer menurut penulis, memang seharusnya lebih diperbaiki dan lebih serius dibenai melalui cara-cara seimbang dan sinergy, karena teori musyawarah - mufakat dalam hubungan sipil – militer dapat dipakai sebagai model teori baru dalam transisi politik di Indonesia dan ex-pimpinan militer pun bisa dirujuk untuk kembali memimpin secara bergantian dan sekaligus berbagi kekuasaan dengan pemimpin sipil di Indonesia agar supaya dasar negara Pancasila tetap kokoh dan tidak berubah menjadi negara komunis atau negara liberalis atau negara Islam. Teori hubungan sipil- militer ini sangat penting untuk dikaji dan sekaligus diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan negara.
C.2. Model Skenario Rekonsiliasi
Menurut Solon, Pemerintah modern itu bisa melakukan kebijakan rekonsiliasi dengan pemerintahan masa lalu, caranya a). Memberi perlindungan pada populasi penduduk melalui kekuasaan hukum, b). Membuat tatanan sosial baru pada masyarakat melalui pembersihan-pembersihan, propaganda, menghimpun kesadaran dan pembaharuan sosial, c). Melakukan penanganan terhadap masa lalu dengan cara tidak melakukan tindakan negatif (saling hina) pada pemimpin masa lalu karena mengakibatkan dendam yang sulit direkonstruksi kembali, d). Melalui cara pemihakan pada warga negara untuk mendukung atau melawan otoritas yang lalu. Model skenario ini sekalipun bisa saja diterapkan tetapi untuk konteks Indonesia caranya perlu diadakan pemisahan antara korban yang ditimbulkan dari pelanggaran HAM murni dan korban yang ditimbulkan dari ekses pemberontakan, kemudian disederhanakan dengan cara ada yang melalui suatu rekonsiliasi dan ada pula yang melalui amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dan metode pendekatannya melalui teknis musyawarah / mufakat dengan melibatkan tokoh-tokoh Formal dan Informal, melibatkan semua elemen yang terhubung dalam perwakilan rakyat. Skenario rekonsiliasi hanya tepat dilakukan pada sekelompok orang sebagai korban pelanggar HAM murni yang beda pendapat dengan pemerintahan, sedangkan pada sekelompok korban yang ditimbulkan dari ekses pemberontakan terhadap konstitusi Negara atau terhadap falsafah negara Pancasila dapat dilakukan dengan cara diberi amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
C.3. Model Skenario Demiliterisasi
Model skenario ini sulit direalisasikan secara mutlak mengingat kedudukan dan peran militer masih sangat diperlukan untuk tujuan pengabdian kepada kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Kewibawaan, kekuatan dan ketahanan Negara sangat tergantung dan terletak pada kekuatan Militer serta peralatan militer yang dimiliki suatu negara. Oleh karenanya melakukan Demiliterisasi sama sebangun dengan melakukan pelemahan terhadap negara. Ada 5 (lima) langkah yang ditawarkan Harold Crouch, 1). Reduction in military respresentation in the legislatures (Pengurangan dalam perwakilan TNI-Polri di lembaga-lembaga perwakilan), 2). Elimination of ”kekaryaan” (seconment of military officers to civilian position) – Penghapusan kekaryaan (pengalihan sementara para perwira TNI – Polri ke posisi-posisi sipil, 3). Political ”neutrality” (Netralitas Politik), 4). Separation of police from the military (Pemisahan Polisi dari TNI), 5). Defence orientation (Orientasi Pertahanan). Menurut penulis, langkah ini tidak mencerminkan keseimbangan yang diperlukan didalam politik pertahanan Negara RI terutama untuk kepentingan menjaga kedaulatan wilayah Negara RI. Model skenario ini jika diterapkan akan berakibat lemahnya pertahanan negara yang memiliki karakter dan filosofi kebangsaan yang berbeda dengan folosofi negara lain di Dunia. Model skenario ini tidak cocok untuk diterpakan di Indonesia karena Negara RI dibentuk dan dibangun bukan untuk menjadi negara administrator yang melayani kepentingan administrasi rakyatnya tetapi Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan dibangun untuk melindungi segenap rakyat Indonesia dari bahaya infiltrasi asing serta untuk melindungi dasar falsafah Negara RI – ”Pancasila” sebagai dasar pemersatu bangsa Indonesia.
C.1. Model Skenario Reposisi Hubungan Sipil - Militer
Menurut Samuel P. Huntington, sesungguhnya semua rezim Otoritarian apapun tipenya mempunyai kesamaan dalam satu hal yaitu hubungan Sipil – Militer tidak begitu diperhatikan, hubungan Sipil – Militer di Negara Industrial yang demokratis hanya menyebutkan istilah ”kontrol Sipil Obyektif” dan isitilah ini dimaknai sebagai suatu kontrol terhadap 1). Profesionalisme militer yang tinggi dan pengalaman dari Pejabat Militer terhadap hal tersebut, 2). Sub-ordinasi militer yang efektif terhadap pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, 3). Adanya pengakuan dan persetujuan dari pimpinan politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonom bagi militer beserta akibat-akibatnya, 4). Minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.
Menurut Satya Arinanto, Proposisi yang digambarkan diatas masih dianggap relevan untuk konteks Indonesia pada saat ini karena 1). Struktur DPR / MPR yang baru sudah mengakhiri pengangkatan anggota TNI / Polri menjadi anggota DPR / MPR, 2). Transisi menuju demokrasi dilakukan tidak melalui Recovery atau tidak melalui pemulihan TNI dan mengembalikan kemampuan militer secara profesional tetapi konteks Indonesia sedikit unik, justru sipil dan politisi sipil / partai-partai politik malah bergembira terhadap jenderal-jenderal yang bergabung ke partai / sipil dan terdapat fakta pembentukan Kodam-Kodam, Status darurat sipil diberlakukan di Maluku, Aceh dan lain-lain. 3). Militer ditarik dari negara didunia ke-III dan menuju pada militer profesional seperti di Barat. Oleh karenanya Transisi Politik menuju demokrasi untuk konteks Indonesia, kiranya perlu reposisi serius terutama soal reposisi hubungan sipil – militer dalam arti menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja. Reposisi hubungan sipil –militer menurut penulis, memang seharusnya lebih diperbaiki dan lebih serius dibenai melalui cara-cara seimbang dan sinergy, karena teori musyawarah - mufakat dalam hubungan sipil – militer dapat dipakai sebagai model teori baru dalam transisi politik di Indonesia dan ex-pimpinan militer pun bisa dirujuk untuk kembali memimpin secara bergantian dan sekaligus berbagi kekuasaan dengan pemimpin sipil di Indonesia agar supaya dasar negara Pancasila tetap kokoh dan tidak berubah menjadi negara komunis atau negara liberalis atau negara Islam. Teori hubungan sipil- militer ini sangat penting untuk dikaji dan sekaligus diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan negara.
C.2. Model Skenario Rekonsiliasi
Menurut Solon, Pemerintah modern itu bisa melakukan kebijakan rekonsiliasi dengan pemerintahan masa lalu, caranya a). Memberi perlindungan pada populasi penduduk melalui kekuasaan hukum, b). Membuat tatanan sosial baru pada masyarakat melalui pembersihan-pembersihan, propaganda, menghimpun kesadaran dan pembaharuan sosial, c). Melakukan penanganan terhadap masa lalu dengan cara tidak melakukan tindakan negatif (saling hina) pada pemimpin masa lalu karena mengakibatkan dendam yang sulit direkonstruksi kembali, d). Melalui cara pemihakan pada warga negara untuk mendukung atau melawan otoritas yang lalu. Model skenario ini sekalipun bisa saja diterapkan tetapi untuk konteks Indonesia caranya perlu diadakan pemisahan antara korban yang ditimbulkan dari pelanggaran HAM murni dan korban yang ditimbulkan dari ekses pemberontakan, kemudian disederhanakan dengan cara ada yang melalui suatu rekonsiliasi dan ada pula yang melalui amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dan metode pendekatannya melalui teknis musyawarah / mufakat dengan melibatkan tokoh-tokoh Formal dan Informal, melibatkan semua elemen yang terhubung dalam perwakilan rakyat. Skenario rekonsiliasi hanya tepat dilakukan pada sekelompok orang sebagai korban pelanggar HAM murni yang beda pendapat dengan pemerintahan, sedangkan pada sekelompok korban yang ditimbulkan dari ekses pemberontakan terhadap konstitusi Negara atau terhadap falsafah negara Pancasila dapat dilakukan dengan cara diberi amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
C.3. Model Skenario Demiliterisasi
Model skenario ini sulit direalisasikan secara mutlak mengingat kedudukan dan peran militer masih sangat diperlukan untuk tujuan pengabdian kepada kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Kewibawaan, kekuatan dan ketahanan Negara sangat tergantung dan terletak pada kekuatan Militer serta peralatan militer yang dimiliki suatu negara. Oleh karenanya melakukan Demiliterisasi sama sebangun dengan melakukan pelemahan terhadap negara. Ada 5 (lima) langkah yang ditawarkan Harold Crouch, 1). Reduction in military respresentation in the legislatures (Pengurangan dalam perwakilan TNI-Polri di lembaga-lembaga perwakilan), 2). Elimination of ”kekaryaan” (seconment of military officers to civilian position) – Penghapusan kekaryaan (pengalihan sementara para perwira TNI – Polri ke posisi-posisi sipil, 3). Political ”neutrality” (Netralitas Politik), 4). Separation of police from the military (Pemisahan Polisi dari TNI), 5). Defence orientation (Orientasi Pertahanan). Menurut penulis, langkah ini tidak mencerminkan keseimbangan yang diperlukan didalam politik pertahanan Negara RI terutama untuk kepentingan menjaga kedaulatan wilayah Negara RI. Model skenario ini jika diterapkan akan berakibat lemahnya pertahanan negara yang memiliki karakter dan filosofi kebangsaan yang berbeda dengan folosofi negara lain di Dunia. Model skenario ini tidak cocok untuk diterpakan di Indonesia karena Negara RI dibentuk dan dibangun bukan untuk menjadi negara administrator yang melayani kepentingan administrasi rakyatnya tetapi Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan dibangun untuk melindungi segenap rakyat Indonesia dari bahaya infiltrasi asing serta untuk melindungi dasar falsafah Negara RI – ”Pancasila” sebagai dasar pemersatu bangsa Indonesia.
C.4. Model Skenario Melalui Politik Hukum Negara
Skenario transisi politik menuju demokrasi dapat dilakukan melalui wilayah politik hukum yaitu, 1). secara sederhana politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (Legal Policy), 2). Cara politik mempengaruhi hukum yaitu melalui konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum. Dasar hukum untuk membawa rezim masa lalu ke Pengadilan menurut H.L.A Hart melalui Pengadilan Transisional. Respon transformatif yang serupa juga dapat dilihat dalam beberapa transisi akhir-akhir ini, seperti yang terjadi di Afrika Selatan melalui pembentukan Mahkamah Konstitusi. Debat antara Hart dan Fuller tentang sifat hukum terfokus pada penyelenggaraan persidangan terhadap para kolaborator Nazi di era Jerman pasca perang. Hart, seorang pendukung positivisme hukum, menyatakan bahwa penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagai suatu hal yang sah.
Menurut Hart, hukum tertulis yang berlaku sebelumnya, walaupun tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan harus diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru. Model skenario ini juga menurut hemat penulis kurang memberi manfaat yang optimal pada kepentingan Negara Kesatuan RI dan kurang memberi manfaat terhadap perlindungan kehidupan seluruh rakyat Indonesia karena efek yang dialami korban dari suatu pelanggaran hukum yang dilakukan Pemimpin Negara (rezim sebelumnya) selain sulit dibuktikan unsur-unsur pelanggaran HAM-nya yaitu sulit membuktikan pelanggaran HAM dari korban rakyat yang mana, apakah HAM dari korban rakyat yang membela pertahanan dan keutuhan Negara Kesatuan RI atau justru sebaliknya yaitu korban pelanggaran HAM dari seorang pemberontak yang bermaksud merongrong keutuhan Negara RI, merongrong pertahanan dan ketahanan Negara RI yang berfalsafah Pancasila. Model ini pula selain bertentangan dengan filosofi bangsa Indonesia juga model ini sifatnya parsial, tidak menyentuh elemen-elemen yang terkandung dalam filosofi negara dan budaya bangsa Indonesia.
D. TRANSISI POLITIK DALAM PUSARAN REZIM OTORITER PERSONAL DAN MILITERISTIK
Mengacu pada beberapa model penyelesaian / skenario diatas, menurut hemat penulis, dapat ditanggapi sebagai berikut :
Model Skenario penyelesaian transisi politik rezim otoriter masa lalu menuju rezim yang dianggap lebih demokrasi pada masa kini seperti disebutkan diatas, sebetulnya lebih merupakan konsep model teori penyelesaian konflik dari suatu transisi politik yang tidak terlalu cocok untuk diterapkan di Indonesia karena sifat dan karakter rezim otoriter masa lalu di Indonesia mengalami dua bentuk model otoriterian yang pertama, sifatnya Militeristik seperti ditunjukkan pada rezim orde baru oleh Jenderal besar Soeharto yang memerintah Indonesia selama 32 tahun dan kedua, model otoriter / Diktator personal seperti ditunjukkan pada rezim orde lama oleh Ir. Soekarno yang memerintah Indonesia selama 21 tahun. Kedua pemimpin merupakan satu type figur pemimpin besar yang dimiliki oleh bangsa dan negara RI dan sangat kuat sifat dan karakternya yang bermaksud ingin melindungi seluruh hajat hidup rakyat dan bangsa Indonesia yang baru saja lepas dari trauma penjajahan Belanda, Jepang (imperialisme / kolonialisme asing).
Demikian pula sang jenderal besar yang tipenya sangat-sangat ingin melindungi dan mengamankan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi negara untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam kontitusi negara. Untuk konteks Indonesia, model penyelesaian transisi otoritarian dari dua bentuk model tersebut diatas kiranya lebih cocok dilakukan melalui cara-cara atau skenario, yaitu pertama, mengembangkan pola kesadaran saling memberi dan menerima maaf sebagai landasan transisi penyelesaiannya karena selain pola ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang tekandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sang pemimpin negara pada era tersebut tidak tepat dipersalahkan akibat kuatnya ekses tindakan sang pemimpin menjaga pertahanan negara dan melindungi hajat hidup pembangunan ekonomi rakyat Indonesia. kedua, mengembangkan pola musyawarah – mufakat melalui pimpinan lembaga formal – informal sebagai solusi transisi politik karena pola ini juga sangat cocok dengan nilai-nilai yang terkandung didalam sila keempat Pancasila.
E. KESIMPULAN
Pola teori transisi politik yang digagas Rod Hague tidak cocok diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara Republik yang memiliki nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya pola yang cocok dipakai untuk transisi politik di Indonesia adalah menerapkan pola / cara musyawarah mufakat dan/ atau menumbuh kembangkan kesadaran untuk saling memberi dan menerima maaf karena Tuhan Yang Maha Esa sangat pemaaf. (Edy/Jf)
Skenario transisi politik menuju demokrasi dapat dilakukan melalui wilayah politik hukum yaitu, 1). secara sederhana politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (Legal Policy), 2). Cara politik mempengaruhi hukum yaitu melalui konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum. Dasar hukum untuk membawa rezim masa lalu ke Pengadilan menurut H.L.A Hart melalui Pengadilan Transisional. Respon transformatif yang serupa juga dapat dilihat dalam beberapa transisi akhir-akhir ini, seperti yang terjadi di Afrika Selatan melalui pembentukan Mahkamah Konstitusi. Debat antara Hart dan Fuller tentang sifat hukum terfokus pada penyelenggaraan persidangan terhadap para kolaborator Nazi di era Jerman pasca perang. Hart, seorang pendukung positivisme hukum, menyatakan bahwa penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagai suatu hal yang sah.
Menurut Hart, hukum tertulis yang berlaku sebelumnya, walaupun tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan harus diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru. Model skenario ini juga menurut hemat penulis kurang memberi manfaat yang optimal pada kepentingan Negara Kesatuan RI dan kurang memberi manfaat terhadap perlindungan kehidupan seluruh rakyat Indonesia karena efek yang dialami korban dari suatu pelanggaran hukum yang dilakukan Pemimpin Negara (rezim sebelumnya) selain sulit dibuktikan unsur-unsur pelanggaran HAM-nya yaitu sulit membuktikan pelanggaran HAM dari korban rakyat yang mana, apakah HAM dari korban rakyat yang membela pertahanan dan keutuhan Negara Kesatuan RI atau justru sebaliknya yaitu korban pelanggaran HAM dari seorang pemberontak yang bermaksud merongrong keutuhan Negara RI, merongrong pertahanan dan ketahanan Negara RI yang berfalsafah Pancasila. Model ini pula selain bertentangan dengan filosofi bangsa Indonesia juga model ini sifatnya parsial, tidak menyentuh elemen-elemen yang terkandung dalam filosofi negara dan budaya bangsa Indonesia.
D. TRANSISI POLITIK DALAM PUSARAN REZIM OTORITER PERSONAL DAN MILITERISTIK
Mengacu pada beberapa model penyelesaian / skenario diatas, menurut hemat penulis, dapat ditanggapi sebagai berikut :
Model Skenario penyelesaian transisi politik rezim otoriter masa lalu menuju rezim yang dianggap lebih demokrasi pada masa kini seperti disebutkan diatas, sebetulnya lebih merupakan konsep model teori penyelesaian konflik dari suatu transisi politik yang tidak terlalu cocok untuk diterapkan di Indonesia karena sifat dan karakter rezim otoriter masa lalu di Indonesia mengalami dua bentuk model otoriterian yang pertama, sifatnya Militeristik seperti ditunjukkan pada rezim orde baru oleh Jenderal besar Soeharto yang memerintah Indonesia selama 32 tahun dan kedua, model otoriter / Diktator personal seperti ditunjukkan pada rezim orde lama oleh Ir. Soekarno yang memerintah Indonesia selama 21 tahun. Kedua pemimpin merupakan satu type figur pemimpin besar yang dimiliki oleh bangsa dan negara RI dan sangat kuat sifat dan karakternya yang bermaksud ingin melindungi seluruh hajat hidup rakyat dan bangsa Indonesia yang baru saja lepas dari trauma penjajahan Belanda, Jepang (imperialisme / kolonialisme asing).
Demikian pula sang jenderal besar yang tipenya sangat-sangat ingin melindungi dan mengamankan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi negara untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam kontitusi negara. Untuk konteks Indonesia, model penyelesaian transisi otoritarian dari dua bentuk model tersebut diatas kiranya lebih cocok dilakukan melalui cara-cara atau skenario, yaitu pertama, mengembangkan pola kesadaran saling memberi dan menerima maaf sebagai landasan transisi penyelesaiannya karena selain pola ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang tekandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sang pemimpin negara pada era tersebut tidak tepat dipersalahkan akibat kuatnya ekses tindakan sang pemimpin menjaga pertahanan negara dan melindungi hajat hidup pembangunan ekonomi rakyat Indonesia. kedua, mengembangkan pola musyawarah – mufakat melalui pimpinan lembaga formal – informal sebagai solusi transisi politik karena pola ini juga sangat cocok dengan nilai-nilai yang terkandung didalam sila keempat Pancasila.
E. KESIMPULAN
Pola teori transisi politik yang digagas Rod Hague tidak cocok diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara Republik yang memiliki nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya pola yang cocok dipakai untuk transisi politik di Indonesia adalah menerapkan pola / cara musyawarah mufakat dan/ atau menumbuh kembangkan kesadaran untuk saling memberi dan menerima maaf karena Tuhan Yang Maha Esa sangat pemaaf. (Edy/Jf)