KONVENSI Plt TAK DIKENAL
https://www.jakartaforum.web.id/2016/09/konvensi-plt-tak-dikenal.html
Jakarta -PTUN, KONVENSI Plt TAK DIKENAL. Gugatan antara Joeslin Nasution dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) kembali memanas. Joeslin selaku penggugat dalam perkara itu, berusaha menegaskan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) memiliki hak untuk melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
Untuk menguatkan dalilnya, Joeslin menghadirkan Saurip Kadi selaku saksi fakta. Saurif Kadi diminta keterangannya karena dianggap mengetahui sejarah pembentukan Partai Golkar karena pernah menjabat kepala dewan sosial politik (Wansospol) dibawah Panglima TNI masa itu. Sospol kala itu membidangi partai politik pada masa dwifungsi ABRI.
Untuk pertama kali mengibarkan bendera GOLKAR Setyo Novanto sebagai Ketua Umum Golongan Karya (GOLKAR) Munas Bali |
Saurif Kadi dalam keterangan sebagai saksi fakta, menyatakan, ada kebiasaan dalam Partai Golkar yakni melibatkan dewan pendiri saat mengambil kebijakan-kebijakan strategis partai
"Tradisi pengambilan keputusan di Partai Golkar selalu melibatkan dewan pendiri. Karena Kekuatan akar rumput Golkar pada MKGR," terang Saurif Kadi di PTUN Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Jakarta Timur, Kamis (1/9).
Dia menyatakan bahwa Golkar itu memang dibentuk dari beberapa elemen seperti Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Dia menyebutkan ada tujuh elemen, namun yang eksis hingga sekarang hanya tiga.
Joeslin mengaku mendapat mandat dari dewan pendiri partai Golkar menjadi pelaksana tugas (Plt) Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar (DPP GOLKAR) saat Golkar dalam kisruh dualisme kepemimpinan beberapa waktu lalu. Namun setelah mendapat mandat itu, Menkum HAM mengeluarkan SK perpanjangan Munas Riau.
Jan Juanda bersalaman dengan Soseno Bayu Adji, sementara tengah Joeslin Nasution di PTUN Jakarta sebelum memasuki ruang sidang. |
SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 tentang Pengesahan Personalia Pengurusan Dewan Pimpinan Pusat Masa Bakti 2014-2019. Selain itu, penggugat juga meenggugat SK M.HH-02.AH.11.01 28 Januari 2016 sebagai pengesahan kembali SK M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 dengan masa bakti enam bulan.
Pada persidangan sebelumnya, pihak Menkum HAM menganggap SK Menkum HAM yang menjadi objek gugatan sudah tak relevan untuk digugat. Tergugat beralasan, SK yang di menjadi objek sengketa sudah diganti dengan SK yang baru yakni pengesahan Munas Bali dengan Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016.
Lebih lanjut dia menegaskan, bahwa Joeslin yang memiliki hak untuk melakukan Munaslub karena dianggap sebagai dewan pendiri. Bahkan dia menyatakan, langkah pemerintah mengambilalih partai Golkar dengan menghidupkan kembali SK Munas Riau.
"Mekanisme (memperpanjang SK) itu tidak ada dalam AD-ART. Itu intervensi oleh pemerintah," ungkapnya.
KONVENSI Plt TAK DIKENAL
Joeslin Nasution selaku penggugat berpendapat SK tersebut menjadi landasan terbitnya SK Menkum HAM selanjutnya. Namun, kedua SK yang menjadi objek gugatan sebenarnya telah dicabut dengan SK yang terbit setelahnya. Karena SK yang berlaku adalah SK M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2016 yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar dengan Ketua Umum Setya Novanto dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham.
Dalam terbitnya SK SK M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2016 maka SK M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 dinyatakan tidak berlaku. Begitu pula SK M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 membatalkan SK M.HH-02.AH.11.01 28 Januari 2016. Dengan begitu dua SK yang menjadi objek gugatan sebenarnya telah dibatalkan.
Kuasa hukum tergugat intervensi, Muslim Jaya Butar Butar, menilai keterangan saksi fakta yang membuat bias. Karena menurut Muslim, keterangan saksi banyak menerangkan sejarah pembentukan partai Golkar bukan pada apa yang dilihat terkait terbitnya SK Menkum HAM yang menjadi objek gugatan.
"Kan awalnya kami keberatan dengan saksi fakta. Karena setahu saya saksi tidak pernah tercatat sebagai pengurus partai Golkar," kata Muslim.
Selain itu, Muslim menuturkan dasar yang dipakai penggugat sangat lemah karena tidak berdasarkan pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) partai politik. Istilah Plt tidak ada dalam AD-ART Partai Golkar.
"Di dalam Golkar itu tidak ada konvensi mengenai Plt di pengurusan pusat ," pungkas Muslim. edi/JF.