Efektifitas PersetujuanTindakan Medis Kajian Hukum Praktik Kedokteran Bidang Perdata Di Indonesia
https://www.jakartaforum.web.id/2016/10/efektifitas-persetujuantindakan-medis.html
Jakarta -Efektifitas PersetujuanTindakan Medis Kajian Hukum Praktik Kedokteran Bidang Perdata Di Indonesia.
Oleh : Najab Khan, SH., MH
Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Krisna Dwipayana
A. LATAR BELAKANG
Oleh : Najab Khan, SH., MH
Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Krisna Dwipayana
A. LATAR BELAKANG
Najab Khan, SH., MH |
Hubungan transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum pengobatan dalam wilayah hukum perdata khusus. Hubungan hukum ini akan efektif pengaturannya dan memberi kepastian hukum pada pihak-pihak jika penegakkannya didasarkan pada suatu perikatan upaya antara dokter dan pasien dalam bentuk persetujuan tindakan medis karena semua bentuk persetujuan didalam perikatan terapeutik dilandaskan pada asas kebebasan berkontrak dan asas hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” (Asas hukum yang menyebutkan bahwa aturan hukum khusus itu mengesampingkan aturan hukum umum).
Hubungan dokter dan pasien dalam konsep hukum praktik kedokteran bidang keperdataan dimaknai sebagai hubungan transaksi terapeutik / perikatan terapeutik. Hukum perikatan bidang terapeutik ini mengatur hak / kewajiban dokter-pasien dalam suatu perikatan upaya bidang pelayanan kesehatan, dan oleh masyarakat hukum diistilahkan dengan istilah perikatan upaya / Inspanningverbintenis (lawan dari istilah perikatan menuntut hasil / Ressultatverbintenis). Menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dokter berkewajiban memberi upaya pelayanan medis termasuk melakukan tindakan medis/tindakan kedokteran yang sebaik-baiknya terhadap pasien sesuai Standar Profesi (S.P) dan Standart Prosedure Operational (S.P.O).
Istilah “tindakan medis” dalam hukum praktik kedokteran sebetulnya mempunyai pengertian sama dengan istilah “tindakan kedokteran”. Kedua istilah tersebut sama-sama dipakai dan tertuang didalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, namun ada beberapa sarjana hukum mengartikan berbeda. Upaya dokter menurut ketentuan pasal ini lebih dimaksudkan agar pasien dapat memperoleh hak-haknya, yaitu hak atas upaya tindakan medis/tindakan kedokteran yang memang dihendaki atau diminta pasien, memperoleh hak atas upaya pengobatan/ kesembuhan yang memang diharapkan pasien, memperoleh hak atas upaya peningkatan/ pemulihan kesehatan dan pencegahan dari perluasan penyakit yang diderita pasien dengan segala kondisi keterbatasan praktik medis sehingga adakalanya hasil yang ingin dicapai tidak sesuai dengan harapan pasien.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan pelayanan publik dibidang upaya kesehatan. Jenis layanan kesehatan ini ditujukan untuk perorangan dan masyarakat. Umumnya pelayanan upaya kesehatan bertujuan melaksanakan upaya pencegahan dan/atau pengobatan terhadap setiap penyakit yang diderita pasien atau masyarakat luas. Tugas dan kewajiban dokter dalam layanan upaya kesehatan perorangan, antara lain melakukan diagnosis, prognosis, menetapkan tata cara dan tujuan tindakan medis, menyiapkan alternatif-alternatif tindakan lain, mengantisipasi risiko, komplikasi medis yang mungkin terjadi, serta merujuk pasien ke dokter lain apabila dokter merasa tidak mampu melakukan pemeriksaan/pengobatan atau apabila diperlukan pertolongan darurat lainnya. Semua tugas dan kewajiban dokter didasarkan pada hubungan perikatan upaya antara pasien dan dokter. Tugas dan kewajiban dokter dalam hubungan perikatan upaya dilakukan sesuai Standar Profesi (S.P), sesuai Standart Procdure Operational (S.P.O) dan sesuai kebutuhan medis pasien.
Konsep perikatan dalam hukum positif praktik kedokteran bidang keperdataan di Indonesia hanya mengenal satu bentuk konsep, yaitu konsep perikatan upaya bidang kesehatan (bidang terapeutik) dan konsep perikatan upaya ini memerlukan persetujuan, namun uniknya pada keadaan darurat atau demi upaya menyelamatkan jiwa pasien atau demi mencegah kecacatan tubuh pasien justru tindakan kedokterannya tidak memerlukan persetujuan. Konsep perikatan upaya kesehatan yang memerlukan persetujuan tertuang didalam ketentuan Pasal 39, Pasal 45 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsep perikatan upaya bidang kesehatan yang tidak memerlukan persetujuan pasien diatur didalam Pasal 2 s/d Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008, tanggal 26 Maret 2008. Kedua konsep pengaturan perikatan upaya kesehatan tersebut merupakan hukum positif yang perlu dipahami, disadari pasien/masyarakat dalam hubungan hukum praktik kedokteran.
Dalam kaitannya dengan konsep pengaturan diatas, upaya tindakan medis dalam hukum praktik kedokteran dimaknai sebagai suatu tindakan upaya dokter terhadap pasiennya berdasarkan “Persetujuan Tindakan Medis” (Informed Consent) atau “tidak berdasarkan Informed Consent”. Upaya tindakan kedokteran/medis tidak dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menuntut hasil seperti dimaksud didalam jenis perikatan umum yang dikenal didalam Buku II dan Buku III KUHPerdata. Tindakan perikatan upaya kedokteran seperti demikian suatu saat bisa saja kurang memuaskan pasien, keliru atau bahkan tindakan kedokterannya merupakan suatu upaya tindakan medis sebagai dampak risiko medis yang tidak bisa dihindari atau ditolak serta tidak dapat diprediksi sebelumnya. Sulit rasanya dokter atau pasien menghindari terjadinya risiko medis karena ilmu kedokteran dan hukum positif praktik kedokteran mengenal dan mengatur kondisi risiko medis.
Pada kenyataan lain, seorang atau beberapa orang dokter pada saat bersamaan bisa saja melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran disiplin praktik kedokteran, namun belum tentu setiap terjadi pelanggaran etika atau disiplin dalam hukum praktik kedokteran seolah-olah disamakan dengan bentuk pelanggaran hukum praktik kedokteran (baik pelanggaran hukum praktik kedokteran bidang Perdata ataupun pelanggaran hukum praktik kedokteran bidang Pidana). Beberapa Ahli hukum kesehatan berpendapat bahwa belum ada parameter tegas yang mengatur batas-batas pelanggaran kode etik, disiplin ataupun batas pelanggaran hukum praktik kedokteran. Inti pokok persoalan dalam dunia praktik kedokteran sebetulnya terletak pada fakta belum adanya Pengadilan Khusus Malpraktik Kedokteran di Indonesia padahal Pengadilan Khusus Malpraktik Kedokteran sangat dibutuhkan agar masyarakat dan dokter mendapat perlindungan, kepastian hukum serta memperoleh keadilan secara proporsional serta profesional dibidang praktik kedokteran.
B. PERMASALAHAN
Sejauh mana efektifitas pengaturan dan penerapan hukum kedokteran dalam sistem penegakan hukum praktik kedokteran oleh Hakim perdata di Indonesia?
C. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM MALPRAKTIK KEDOKTERAN BIDANG PERDATA
Hubungan dokter dan pasien dalam suatu persetujuan tindakan medis (Informed Consent) sebagai suatu bentuk perikatan upaya dalam hukum praktik kedokteran sebaiknya diterapkan tidak menyimpang dengan Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, tidak menyimpang dari koridor ilmu pengetahuan kedokteran, tidak menyimpang dari ketentuan hukum positif kedokteran karena penerapan dan/atau penegakan hukum pada sengketa perdata (sengketa perikatan upaya) bidang hukum praktik kedokteran di Indonesia membutuhkan konsistensi dan kepastian hukum.
Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran paradigma masyarakat dalam menyikapi hubungan hukum perikatan upaya bidang kedokteran antara dokter dan pasien. Kewajiban dokter menurut hukum praktik kedokteran seolah-olah dianggap berkewajiban melakukan tindakan praktik kedokteran diluar pengaturan ketentuan pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kajian mengenai aspek dugaan pelanggaran hukum perdata sering dipraktekan keliru oleh Hakim Perdata, serta diterapkan tidak sesuai dengan asas-asas hukum perdata itu sendiri terutama asas-asas hukum perdata yang berkaitan dengan bidang terapeutik, tidak sesuai dengan ketentuan hukum positif praktik kedokteran serta sering terjadi praktik penegakan hukum yang ambigu / tidak sinkron dengan nilai-nilai keadilan dan/atau nilai-nilai kepastian hukum bidang praktik kedokteran.
Tata cara dan sistem penegakan hukum praktik kedokteran bidang perdata dan bidang pidana berbeda. Demikian pula penerapan stelsel pembuktian dalam suatu sengketa perikatan upaya praktik kedokteran dalam bidang hukum perdata juga tidak sama dengan dalam bidang hukum pidana, yang satu menerapkan Positief Wetelijk Stelsel (dalam praktek penegakan hukum perdata) sedangkan yang lain menggunakan Negatief Wetelijk Stelsel (dalam praktek penegakan hukum pidana). Masyarakat hukum yang peduli praktik kedokteran sering dibuat bingung dan bertanya-tanya tentang efektifitas penerapan hukum positif bidang perdata praktik kedokteran terutama dikaitkan dengan beberapa fakta sengketa perikatan medis antara dokter dan pasien dibeberapa Pengadilan Perdata.
Perlindungan hukum atau kepastian hukum pada kasus-kasus malpraktik kedokteran bidang keperdataan di Indonesia jauh dari harapan dan sulit memuaskan keinginan pihak-pihak terkait. Faktor-faktornya banyak serta dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak berdiri sendiri, antara lain, faktor a). Indonesia belum memiliki lembaga peradilan khusus malpraktik kedokteran yang khusus memeriksa ahli-ahli ilmu kedokteran. b). Hakim perdata pada beberapa putusannya membuat pertimbangan dan ukuran yang bertentangan dengan stelsel positief wetelijke bewijs didalam hukum acara perdata (Pasal 1865 KUHPerdata). c). Hakim perdata pada beberapa pertimbangan dan putusannya tidak mengacu pada ukuran pembuktian terhadap unsur-unsur kongkrit perbuatan melanggar hukum praktik kedokteran (Pasal 1365 KUHPerdata), malah Hakim perdata menunjukkan pergeseran sikap dengan cara mengukur ada-tidaknya unsur-unsur pelanggaran hukum praktik kedokteran melalui ukuran pelanggaran unsur-unsur etika/ unsur-unsur disiplin. d). Kebanyakkan Hakim perdata berpikiran dan menganggap pasien meninggal/cacat itu disebabkan karena kesalahan dokter melakukan suatu pelanggaran etika/disiplin kedokteran. e). Unsur Kesalahan malpraktik hukum kedokteran dimata sebagian hakim perdata diukur dari ada-tidaknya Alat bukti surat keputusan pelanggaran disiplin produk MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan/atau Alat bukti surat keputusan pelanggaran moral/etika produk MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran), sementara 2 (dua) surat keputusan pelanggaran etika/disiplin tersebut, jelas dan tegas mencantumkan bahwa surat keputusannya tidak ada kaitannya dengan soal pemeriksaan dan/atau pertimbangan tentang ada-tidaknya unsur-unsur pelanggaran hukum, f). faktor hukum positif (undang-undang praktik kedokteran) yang ditafsirkan serampangan oleh sebagian hakim perdata/ masyarakat, g). faktor pembinaan dan pengawasan kesehatan oleh pemerintah yang tidak optimal (tidak komprehensif), h). faktor aparatur hukum yang korup dan melegalisir pemerasan dalam dunia praktik kedokteran serta membolak-balikan ketentuan hukum positif kearah ketidak kepastian hukum praktik kedokteran, i). faktor informasi kesehatan pasien yang kadang-kadang tidak mudah diketahui oleh dokter akibat pasien tidak bisa menjelaskan / tidak mau menjelaskan kesehatan / penyakit yang dideritanya sejak dini, j). faktor kebiasaan pasien berganti-ganti dokter, k). faktor data record kesehatan pasien yang tersebar dimana-mana dan tidak terorganisir dengan baik, l). faktor kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap pemahaman hukum positif bidang kesehatan, m). faktor perkembangan ilmu kedokteran yang pesat dan berbeda-beda cara penerapaannya disetiap Negara, n). faktor sarana dan prasarana yang terbatas dimiliki dokter/Rumah Sakit di Indonesia sampai pada faktor kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
D. PERIKATAN UPAYA BIDANG TERAPEUTIK DALAM LINGKUP PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak bidang Terapeutik (Perjanjian Terapeutik) yang dideskripsikan dalam perjanjian upaya (Inspanningverbintenis) serta diwujudkan dalam bentuk persetujuan tindakan medis (Informed Consent) merupakan bentuk pilihan/kesepakatan pasien dan dokter yang dibenarkan serta memiliki nilai luhur berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan asas-asas hukum perdata. Bentuk surat persetujuan tindakan medis (Informed Consent) yang dibuat dan disepakati dokter-pasien akan dimaknai sebagai Alat bukti sah dan dianggap sebagai dasar hukum berlakunya asas kebebasan berkontrak, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang dikenal didalam hukum perikatan upaya bidang terapeutik. Banyak Perikatan upaya/perjanjian upaya bidang terapeutik sekalipun telah dibuat secara sah, dilaksanakan dan mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perikatan atau perjanjiannya tidak pernah dibatalkan oleh aparat penegak hukum, namun pada beberapa fakta kasus pada beberapa lembaga peradilan tertentu ditemukan fakta bahwa praktek penegakannya dilaksanakan terbalik.
Asas kebebasan berkontrak, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam hukum atau hukum positif itu sendiri ternyata tidak lagi menjadi bahan pertimbangan utama Hakim perdata didalam keputusan-keputusannya. Dalam beberapa putusan pengadilan perdata, Hakim perdata masih membuat pertimbangan dan menerapkan ketentuan hukum yang tidak bersumber pada asas kebebasan berkontrak, melenceng dari Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, melenceng dari ketentuan hukum positif bidang kedokteran, melenceng dari sistem pembuktian Positief Weteleijk Stelsel yang dikenal didalam hukum acara perdata, melenceng dari keterangan saksi ahli dibidang ilmu kedokteran. Beberapa Hakim perdata memutuskan perkara perdata tanpa melalui proses memeriksa saksi ahli dibindang ilmu kedokteran yang dipersengketakan.
Banyak hakim perdata mengambil jalan pintas dan hanya menetapkan atau mempertimbangkan kesalahan etik/disiplin seorang dokter operator saja didalam pertimbangan-pertimbangannya kemudian secara langsung memberikan putusan dengan memberi hukuman/sanksi hukum ganti rugi pada dokter operatornya saja (sedangkan pada dokter-dokter terkait lainnya tidak mendapat pertimbangan hukum). Banyak hakim perdata juga memberi pertimbangan hukum dengan melebarkan putusan dengan cara langsung memberi sanksi kepada badan hukum rumah sakit atau pemilik badan hukum Rumah Sakit hanya dikarenakan ada salah seorang dokter yang bekerja sama dengan Rumah Sakit melanggar etika / disiplin padahal dokter tersebut bukan merupakan pegawai yang mendapat gaji dari Rumah Sakit yang bersangkutan. Hakim perdata sering berasumsi didalam pertimbangan-pertimbangannya bahwa setiap pasien meninggal dunia dan/atau cacat setelah dilakukan tindakan medis pasti dianggap salahnya dokter operator saja dan menampikkan atau mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan tindakan dokter lain sekalipun satu team dokter dan saling berkaitan dengan praktik medis yang sedang dipersengketakan.
E. HUKUM POSITIF PRAKTIK KEDOKTERAN DALAM LINGKUP PENYIMPANGAN PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PERDATA
Meskipun UU praktik kedokteran sudah berlaku 12 tahun, kebanyakan masyarakat umum termasuk aparat penegak hukum bidang keperdataan masih ragu menerapkan hukum positif bidang praktik kedokteran. Keraguan ini ditandai banyaknya aparatur hakim perdata yang tidak mampu membedakan mana perbuatan Malpraktik etika/Malpraktik disiplin kedokteran dengan yang mana perbuatan hukum Malpraktik kedokteran khususnya bidang hukum keperdataan. Sebetulnya perbuatan hukum Malpraktik kedokteran bidang keperdataan sudah tegas dan jelas dasar hukum pengaturannya yaitu diatur didalam ketentuan Pasal 39, Pasal 45, Pasal 51 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan pasal-pasal lain terkait dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Konsekuensi logis memberlakukan bentuk kesepakatan sebagai suatu bentuk pilihan perikatan upaya antara pasien dan dokter, maka jika terjadi sengketa perikatan upaya/persetujuan tindakan medis (Informed Consent), seharusnya ukurannya terletak pada ada-tidaknya pelanggaran upaya hukum kedokteran (malpraktik hukum kedokteran) sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 39, Pasal 45, Pasal 51, Pasal 75 s/d Pasal 80 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. pasal 359 KUHP dan bukan diukur pada ada-tidaknya pelanggran etika/kesopanan/kepatutan/disiplin dokter. Inti pokok didalam perikatan upaya menurut ketentuan Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah sebatas dokter melakukan tindakan upaya medis sesuai Standar Profesi (S.P), Standart Procedure Operational (S.P.O) dan kebutuhan medis pasien serta pula dokter pun diberi kewenangan merujuk/mengalihkan tugas-tugas, kewajiban-kewajiban/tanggung jawab hukumnya pada dokter lain yang lebih memilik keahlian/ kemampuan lebih baik. jika tidak ada dasar bukti pelanggaran hukum didalam unsur-unsur Pasal 75 s/d Pasal 80 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. ketentuan Pasal 359 KUHP atau pelanggaran pasal-pasal ancaman pidana praktik kedokteran maka sulit rasanya menerima logika pertimbangan hukum dari hakim perdata yang secara langsung menyimpulkan dan menganggap terjadi pelanggaran unsur-unsur hukum perdata hanya dikarenakan dokternya sudah diputus melanggar etika/disiplin.
F. EFEKTIFITAS HUKUM PRAKTIK KEDOKTERAN BIDANG PERDATA
Dalam praktek hukum, memberlakukan hukum positif praktik kedokteran erat keterkaitannya dengan aspek penegakan dan aspek kepatuhan/kesadaran hukum masyarakatnya. Semakin efektif ketentuan hukum positif praktik kedokteran diterapkan, ditegakkan ataupun dipatuhi oleh masyarakat maka akan semakin terlihat peran ataupun efek positifnya terhadap masyarakat itu sendiri. Hukum praktik kedokteran akan terlihat berdiri kokoh dan member jaminan kepastian hukum serta sekaligus memberi perlindungan terhadap semua pihak jika tiga aspek sistem penegakkan hukum diperhatikan.
Substansi hukum (UU praktik kedokteran) yang mengandung perikatan upaya dibidang kedokteran akan dapat ditegakkan oleh hakim perdata jika pemeriksaan, pertimbangan-pertimbangan hukumnya didasarkan pada pertimbangan ilmu pengetahuan kedokteran dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan yang lain. Hukum praktik kedokteran akan lebih efektif dan lebih berperan khususnya dalam praktik kedokteran jika hakim perdata memperhatikan sisi ilmu kedokteran dan bukan pada sisi/aspek-aspek lainnya. Ukuran efektif tidaknya pengaturan dan penerapan hukum praktik kedokteran memang tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan beberapa faktor pokok yang mempengaruhinya, antara lain a). faktor pengetahuan hukum dari hakim perdata itu sendiri yang berlatar belakang pendidikan hukum saja dan minim pengetahuan ilmu kedokterannya, b). faktor minimnya aturan yang mengatur mengenai tindakan medis dan pengobatan dari dokter/team dokter yang tidak mudah dipersalahkan apabila ia tidak mampu membantu mengobati atau tidak optimal memberi pelayanan kesehatan terhadap pasien sesuai harapan pasien karena menurut Pasal 51 huruf b Undang-Undang Praktik Kedokteran, dokter diperbolehkan merujuk pada dokter lain yang berkemampuan lebih baik, c). minimnya pengaturan hukum praktik kedokteran yang melibatkan team dokter padahal semua dokter sama-sama memiliki bukti perikatan hukum yang berupa persetujuan tindakan medis (Informed Consent). Singkatnya ada 3 (tiga) faktor pokok menurut Lawrence M. Friedman yang dominan dan bisa mempengaruhi sistem penegakan hukum dalam praktik hukum kedokteran yaitu meliputi, 1). faktor struktur hukum (Structure of law), 2). substansi hukum (Substance of the law) dan 3). budaya hukum (legal culture) .
Hukum positif (UU Praktik Kedokteran) dibuat dan diberlakukan guna mengatur hak dan kewajiban dokter dengan pasien dan kenyataannya UU Praktik Kedokteran tidak mudah diimplimentasikan. Selain banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sistem penegakan hukum praktik kedokteran juga masyarakat sering mencari jalan pintas dan berlindung dibalik tameng keputusan etika dokter atau keputusan disiplin dokter didalam mengajukan tuntutan ganti-rugi di Pengadilan perdata. Alat bukti ada-tidaknya kesalahan etika/disiplin yang dilakukan dokter sering disalah gunakan seolah-olah sebagai bukti adanya kesalahan hukum praktik kedokteran padahal praktik kedokterannya melibatkan banyak dokter. Tidak jarang masyarakat secara terang-terangan melakukan pemerasan pada dokter/ Rumah Sakit (pihak-pihak terkait) dengan berlindung dibalik bukti keputusan etika/ bukti keputusan disiplin praktik kedokteran. Masyarakat beranggapan dan beralasan bahwa ganti-rugi yang fantastis wajib dikabulkan karena salah seorang dokternya sudah mendapatkan keputusan etika atau keputusan disiplin dari MKDKI padahal hukum praktik kedokteran dan KUHPerdata tidak mengatur sanksi ganti-rugi itu digantungkan pada keputusan etika atau keputusan disiplin dari seorang dokter saja.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebenarnya cukup jelas mengatur dan memberi batasan tentang siapa-siapa saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban hukum dan dituntut dimuka Pengadilan perdata bila terjadi pelanggaran hukum termasuk pelanggaran hukum praktik kedokteran. Peraturan perundang-undangan ini sebetulnya juga cukup jelas membuat tolok ukur terhadap soal batasan penerapan unsur-unsur kesalahan hukum praktik kedokteran bidang pidana atau bidang perdata. Konsep pengaturan soal pengaduan, pelaporan, gugatan dan pertanggung jawabannya pada masing-masing bidang yaitu bidang hukum pidana, bidang hukum perdata, bidang etika/disiplin pun sebenarnya sudah cukup jelas, namun praktek penegakkan hukumnya tidak efektif, misalnya bila terjadi sengketa malpraktik hukum kedokteran maka pihak-pihak yang tidak puas akan mencoba-coba melakukan upaya penuntutan melalui langkah-langkah pintas yaitu tanpa proses pemeriksaan yang melibatkan kajian ilmu kedokteran/ahli-ahli dibidang ilmu kedokteran.
Ketentuan (Kitab Hukum) diatas sebenarnya sudah mengatur dan sejalan dengan ketentuan pembatasan upaya tindakan medis dari dokter terhadap pasiennya termasuk pembatasan bila muncul risiko tindakan medis dari dokter atau team dokter terhadap pasiennya (Pasal 45 ayat (5), ayat (6) UU Praktik Kedokteran). Batas tanggung jawab tindakan medis juga diatur dan dapat diketahui dari ada-tidaknya Alat bukti persetujuan tindakan medis (Informed Consent) baik melalui proses penegakan hukum pidana atau perdata. Semua prinsip-prinsip hukum termasuk prinsip hukum kedokteran bidang keperdataan sebetulnya telah jelas membatasi dan mengaturnya.
Pasal 39, Pasal 45, Pasal 51, Pasal 66, Pasal 68, Pasal 75 s/d Pasal 80 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. Pasal 359 KUHP merupakan contoh pasal pembatas tentang ada-tidaknya unsur pelanggaran hukum praktik kedokteran. Kurang tepat jika konsep atau prinsip-prinsip hukum praktik kedokteran bidang perdata ditafsirkan kemana-mana dan dikaitkan diluar ketentuan pasal-pasal undang-undang praktik kedokteran, KUHP, KUHPerdata, doktrin, asas-asas hukum perdata yang berkaitan dengan sifat kekhususan hukum kedokteran oleh Hakim perdata.
Konsep praktik kedokteran ranah hukum pidana secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, namun upaya tindakan medis baru akan dianggap melanggar hukum pidana bila perbuatannya memenuhi unsur-unsur pelanggaran ketentuan Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan unsur/ketentuan Pasal 359 KUHP atau unsur-unsur hukum pidana kedokteran lainnya. Bahkan proses tuntutan ganti rugi dalam pelanggaran hukum praktik kedokteran bidang perdata dapat dijadikan satu dengan proses hukum pidana (dasarnya Pasal 98 s/d 101 KUHAP).
Konsep praktik kedokteran ranah hukum perdata secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan (Inspanningverbintenis). Upaya tindakan medis dokter atau team dokter yang berimplikasi keliru atau terbukti ada kesalahan hukum pada setiap tindakan medis wajib dikaitkan dengan dasar bukti pelanggaran unsur-unsur hukum Pasal 39, Pasal 45, Pasal 51, Pasal 75 s/d Pasal 80 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. pasal 359 KUHP dan bukan dikaitkan dengan unsur-unsur pelanggaran etika/disiplin. Tidak ada satu pasal pun didalam undang-undang praktik kedokteran ataupun pasal-pasal didalam KUHPerdata mengatur dan/ atau mewajibkan bahwa jika ada suatu bukti pelanggaran unsur-unsur etika dokter atau ada bukti pelanggaran unsur-unsur disiplin dokter maka bukti pelanggaran itu dipersamakan dan dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengukur ada tidaknya perbuatan kongkrit pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran hukum perdata.
Ketentuan Pasal 74 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebetulnya juga telah memberi makna dan konsep jelas terhadap tanggung jawab subyek hukum terkait melalui konsep audit medis. Konsep audit medis ini ataupun konsep autopsy bisa digunakan sebagai Alat bukti untuk mengukur ada-tidaknya pelanggaran hukum pidana/hukum perdata dan bukan melalui konsep keputusan etika/disiplin. Hakim perdata tidak selayaknya mengukur dan menentukan konsep kesalahan hukum malpraktik kedokteran jika tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap dokter-dokter yang lain yang mana yang keliru dalam melakukan praktik kedokteran. Selain itu juga konsep bukti kesalahan hukum pada setiap tindakan medis wajib digali melalui tindakan otopsi (atau melalui konsep uji klinis praktek medis) dan atau hasil dari suatu pemeriksaan internal Komite Medis disetiap rumah sakit. Tanpa memperhatikan seluruh ketentuan hukum positif diatas, omong kosong tiga (3) konsep nilai dalam hukum (yaitu nilai kepastian hukum, nilai kemanfaatan dan nilai keadilan) dapat tegak dan terwujud dalam praktik penegakkan hukum perdata bidang kedokteran. Untuk mencapai dan mendapatkan suatu nilai keadilan dalam setiap penegakan hukum praktik kedokteran bidang perdata perlu ada proses penegakan hukum pidana yang pasti dari aparat penegak hukum pidana atau hakim perdata dapat melakukan proses penegakkan hukum melalui penerapan sistem pembuktian Positief Wetelijk Stelsel (Pasal 1865 KUHPerdata).
Penerapan hukum praktik kedokteran oleh hakim perdata didalam due process of law system di Indonesia kiranya kurang bermakna, tidak efektif, tidak berkepastian hukum dan dirasa tidak adil jika hakim perdata menanggalkan dan tidak menerapkan sisi kepastian hukum praktik kedokteran serta menanggalkan/tidak menerapkan sistem pembuktian Positief Wetelijk Stelsel. Penerapan hukum praktik kedokteran oleh hakim perdata yang demikian juga akan dimaknai sebagai konsep penerapan hukum yang bertentangan dengan fungsi peradilan menurut Kranenburg (dalam bukunya Het Nederlands Staatrecht 1951, hal .365), yang mengatakan bahwa fungsi peradilan ialah semata-mata menerapkan undang-undang, dan memberikan putusan untuk perkara-perkara yang konkrit sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh pembuat undang-undang.
G. KESIMPULAN
a. Pengaturan persetujuan upaya tindakan kedokteran/ Informed Consent didalam sistem hukum perdata sebetulnya cukup jelas substansinya, namun penegakkan hukumnya tidak efektif ditegakkan oleh Hakim perdata karena Hakim perdata mengabaikan pemeriksaan ahli ilmu kedokteran terkait.
b. Ketentuan persetujuan upaya tindakan kedokteran/ Informed Consent sekalipun sudah jelas pengaturannya, jika tidak diikuti dengan struktur hukum yang baik melalui perwujudan peradilan khusus malpraktik kedokteran maka implimentasi Undang-Undang Praktik Kedokteran juga tidak akan maksimal karena terdapat fakta Hakim perdata minim ilmu kedokterannya.
c. Hukum positif praktik kedokteran bidang perdata tidak akan berkepastian hukum serta tidak akan terasa efektif berlakunya jika faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak segera diatasi. (Edi/Jf)