PULAU PEJANTAN, KAWASAN ESENSIAL YANG BELUM TERJAMAH

Jakarta -PULAU PEJANTAN, KAWASAN ESENSIAL YANG BELUM TERJAMAH, Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu, 8 Maret 2017. Suatu ekosistem esensial baru telah diteliti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui ekspedisi Tim Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) KLHK. Hal ini disampaikan oleh Kepala BLI, Dr. Henri Bastaman dalam Konferensi Pers di Kantor BLI, Bogor (08/03/2017). Pulau Pejantan, nama kawasan yang belum banyak terjamah oleh manusia ini, diteliti sebagai tindak lanjut arahan Menteri LHK terkait penemuan pulau oleh lembaga penelitian asal Jepang yaitu Institute of Critical Zoologist (ICZ) pada tahun 2005-2009.

Berdasarkan hasil temuan Tim ICZ, Pulau Pejantan diduga memiliki 350 spesies baru yang belum teridentifikasi. Atas dasar ini pula, KLHK segera menurunkan Tim ekspedisi untuk meneliti lebih lanjut. Pulau yang diketahui seluas 927,34 Ha ini terletak di Desa Mantebung, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dihuni oleh 12 KK dengan jumlah penduduk 40 orang suku Melayu yang berprofesi sebagai nelayan. Fasilitas umum di pulau ini masih sangat terbatas, sehingga memerlukan sentuhan pembangunan yang intensif.


Ketua Tim Ekspedisi, Dr. Hendra Gunawan menuturkan bahwa salah satu keunikan kawasan ini adalah ditemukannya ekosistem vegetasi di atas batu granit yang cukup luas dan memiliki mata air yang mengalir. “Terdapat enam jenis ekosistem khas di Pulau Pejantan, yaitu ekosistem mangrove, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, vegetasi yang tumbuh di batu granit, ekosistem goa batu granit, dan ekosistem terumbu karang”, jelas Hendra.

“Pada masing-masing ekosistem juga ditemukan flora dan fauna endemik yang belum dapat teridentifikasi seluruhnya dan diduga merupakan spesies baru, seperti biawak, tupai tiga warna, burung kuau kerdil, kalong, kantong semar, anggrek, dan masih banyak lagi”, Hendra menambahkan. Hal menarik lainnya adalah pulau ini juga merupakan habitat bertelurnya dari satwa langka Penyu Sisik dan Penyu Pipih, sehingga kawasan ini bernilai penting untuk dilakukan konservasi.

Beberapa potensi wisata alam juga dapat dikembangkan di Pulau Pejantan antara lain wisata selam (diving), pemandangan pantai pasir putih, wisata goa dan panjat dinding (rock climbing), wisata susur hutan (jungle tracking), dan pelepasan tukik untuk konservasi satwa penyu.

Direktur Bina Pengelolaan Eksosistem Esensial, Ir. Antung Deddy R., MP, yang turut hadir sebagai narasumber pada acara ini berpendapat, peluang Pulau Pejantan sangat besar untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi. “Pulau Pejantan dapat diusulkan untuk menjadi kawasan Suaka Margasatwa (SM) atau Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Untuk itu diperlukan koordinasi lebih lanjut dengan Pemerintah Daerah dan verifikasi data ilmiah dalam bentuk time series”, ungkap Antung.

Pada kesempatan ini pula, Henri Bastaman memberikan penjelasan sejarah BLI KLHK dan mengajak para undangan untuk berkeliling setiap laboratorium dan melakukan penanaman. “Konferensi pers ini merupakan awal komunikasi untuk ekspose hasil-hasil penelitian bidang LHK, karena banyak materi hasil penelitian yang bagus dan bermanfaat, namun memerlukan upaya publikasi yang lebih optimal”, pesan Henri.

Kantor BLI KLHK telah berdiri sejak tanggal 1 Juli 1897 dan merupakan lokasi penelitian kehutanan paling lengkap, yang memiliki herbarium (koleksi daun tanaman hutan), arboretum (koleksi pohon-pohon hutan), dan xylarium (koleksi jenis-jenis kayu). Xylarium BLI KLHK merupakan tempat koleksi kayu terlengkap nomor tiga di dunia, setelah Amerika dan Belgia, karena memiliki 34.301 jenis kayu. Dalam rangka optimalisasi identifikasi kayu, BLI KLHK juga akan mengembangkan teknologi digital berupa aplikasi identifikasi kayu.

Related

Peristiwa 1828060935613236356
jasa-ekspedisi
Ajang Berita

Hubungi kami

Nama

Email *

Pesan *

Jumlah Pengunjung

item