SVLK Diminati UKM Kehutanan
https://www.jakartaforum.web.id/2017/03/svlk-diminati-ukm-kehutanan.html
Jakarta -SVLK Diminati UKM Kehutanan. Usaha
kehutanan berskala kecil dan menengah semakin antusias dengan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini terbukti mampu mendukung
peningkatan kapasitas kelembagaan dan menaikan daya saing produk yang
dihasilkan. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rufi’ie mengungkapkan, pihaknya
menerima banyak permohonan dari kelompok-kelompok usaha kehutanan skala
kecil dan menengah untuk mendapat dukungan dalam proses sertifikasi
SVLK. “Ini menunjukan bahwa masyarakat sangat antusias,” kata dia disela
Indonesia Furniture Expo 2017 di Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Kementerian
LHK memang menyediakan anggaran untuk membiayai usaha kecil dan
menengah (UKM) untuk memperoleh sertifikat legalitas kayu (V-Legal).
Untuk tahun ini besarnya sekitar Rp 500 juta. UKM yang dibiayai mulai
dari hutan rakyat sampai usaha di hilir seperti furnitur. Menurut
Rufi’ie, Kementerian dan Lembaga pemerintahan lain juga menyediakan
anggaran untuk mendukung proses sertifikasi UKM. Sementara ada juga
anggaran sebesar Rp 1 miliar yang berasal dari Multistakeholder Forestry
Program III, program kerjasama Indonesia-Inggris. “Beberapa lembaga
sertifikasi juga menyediakan sertifikasi gratis sebagai bagian dari
program CSR-nya,” kata Rufi’ie.
Berdasarkan
data Kementerian LHK, sampai Januari 2017, terdapat 1.392 industri
primer, 1.615 industri sekunder (termasuk furnitur), 172 unit tempat
penampungan terdaftar, dan 85 unit pedagang ekspor yang telah memperoleh
sertifikat legalitas kayu. Antusiasme UKM karena SVLK memberi manfaat
besar untuk mendukung peningkatan usaha. Rufi’ie menyatakan, berkat SVLK
banyak UKM yang tadinya hanya bermain di pasar lokal, kini bisa
mengekspor produk yang dihasilkan. Tak hanya itu, mereka juga bisa
melakukan ekspor secara langsung tanpa melalui pedagang perantara
sehingga margin yang diperoleh bisa lebih optimal. “Konsumen
internasional menghargai produk yang produksinya memanfaatkan bahan baku
kayu yang legal dan lestari,” katanya.
Di
tempat yang sama, pemilik UD Romansa Jati Wibi Hananta mengungkapkan,
pihaknya kini rutin mengekspor produk furnitur ke Maladewa, Tiongkok,
dan Belgia. Ini terjadi sejak usahanya memperoleh sertifikat legalitas
kayu pada Desember 2013 berkat dukungan Kementerian LHK. “SVLK mendorong
kami untuk melengkapi semua dokumen legalitas, bukan hanya untuk kayu
saja, tapi juga legalitas usaha,” kata Wibi yang masih kuliah di
Universitas Merdeka, Malang. Efeknya, omset UD Romansa Jati terus
meningkat. Dari sebelumnya hanya berkisar Rp 400 juta-Rp 600 juta per
tahun, hingga mencapai Rp1,2 miliar pada tahun 2016. Margin keuntungan
juga meningkat. Ini berkat perbaikan manajemen yang terpacu sejak mulai
menerapkan SVLK. Selain itu juga karena UD Romansa Jati kini bisa
mengekspor langsung ke tangan konsumen sehingga mendapat harga jual yang
lebih baik. “Kalau diekspor melalu pedagang perantara, harga ditekan,”
katanya.