MASA DEPAN TANPA RACUN DENGAN PENGELOLAAN BAHAN KIMIA DAN LIMBAH YANG BAIK
https://www.jakartaforum.web.id/2017/05/masa-depan-tanpa-racun-dengan.html
Jakarta - MASA DEPAN TANPA RACUN DENGAN PENGELOLAAN BAHAN KIMIA DAN LIMBAH YANG BAIK. Sebagai salah satu Designated National Authority (DNA) Konvensi Rotterdam, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghadiri pertemuan Konferensi Para Pihak (Conference of Parties – COP) ke 8 Konvensi Rotterdam yang dilaksanakan di Jenewa, Swiss, yang berlangsung tanggal 24 April – 5 Mei 2017.
COP merupakan badan tertinggi dalam Konvensi Rotterdam yang terdiri dari pemerintah negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi tersebut. Keputusan-keputusan dalam pertemuan ini menjadi penting dalam penerapan Konvensi Rotterdam. Dalam pertemuan yang diadakan setiap dua tahun sekali ini, seluruh Negara Pihak meninjau dan memutuskan daftar bahan kimia yang akan diatur atau dimasukkan ke dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam.
COP merupakan badan tertinggi dalam Konvensi Rotterdam yang terdiri dari pemerintah negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi tersebut. Keputusan-keputusan dalam pertemuan ini menjadi penting dalam penerapan Konvensi Rotterdam. Dalam pertemuan yang diadakan setiap dua tahun sekali ini, seluruh Negara Pihak meninjau dan memutuskan daftar bahan kimia yang akan diatur atau dimasukkan ke dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam.
Dirjen PSLB3, Tuti H. Mintarsih menjelaskan salah satu agenda pada pertemuan ini yaitu proses pembahasan usulan 4 (empat) bahan kimia ke dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam.
“Untuk pembahasannya masih terjadi perdebatan yang cukup panjang antar Negara pihak. Sehingga diputuskan beberapa hal yang belum disepakati untuk dibahas kembali pada COP berikutnya,” kata Tuti H.Mintarsih dalam rilis yang diberikan pada media, Sabtu (6/5/2017).
Bahan kimia pertama merupakan formulasi cair (konsentrat yang dapat diemulsikan dan konsentrat larut) yang mengandung paraquat diklorida. Paraquat adalah bahan kimia beracun yang lazim dipakai sebagai herbisida atau pembunuh tanaman yang biasanya digunakan untuk pengendalian ilalang dan rumput. Kemudian formulasi fenthion yang diantaranya digunakan pada saat pengasapan (fogging) untuk mengurangi kemungkinan penularan nyamuk Aedes aegepty.
Selanjutnya Chrysotile asbestos yang lazim digunakan dalam industri konstruksi. Bahan asbestos beracun dan dapat mengakibatkan sejumlah penyakit paru-paru hingga kematian. Yang terakhir yaitu Carbosulfan, bahan aktif yang digunakan pada insektisida.
Untuk bahan kimia Paraquat dan Carbosulfan, Sekretariat masih memberikan waktu bagi Negara pihak termasuk Indonesia untuk mempertimbangkan kembali. Hal ini dikarenakan masih diperlukan kajian/penelitian yang mendalam agar kedua bahan tersebut masuk dalam lampiran III konvensi Rotterdam pada COP BRS berikutnya.
Sedangkan dua bahan kimia lainnya yaitu: Fenthion dan Chrysotile asbestos, posisi Indonesia mendukung bahan tersebut masuk dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam. Namun beberapa Negara masih menolak dimasukkannya kedua bahan tersebut kedalam Lampiran III, sehingga diputuskan akan dibahas kembali pada COP berikutnya.
Delegasi Indonesia pada COP kali ini diketuai oleh Dirjen PSLB3, Tuti Hendrawati Mintarsih dan didukung oleh Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan dari Kementerian Pertanian, Mukti Sardjono.
“Pada tahun 2017, Kementerian Pertanian akan menyediakan anggaran untuk membuat kajian/penelitian terkait dampak kesehatan dan lingkungan termasuk substitusi penggantinya dari Liquid Formulasi Paraquat dan Carbosulfan,” ujar Mukti Sardjono.
Penelitian ini berguna untuk mengklarifikasi penelitian dari Burkina Faso. Hasil dari penelitian ini akan disampaikan ke Sekretariat BRS untuk dibahas pada COP berikutnya.
“Untuk pembahasannya masih terjadi perdebatan yang cukup panjang antar Negara pihak. Sehingga diputuskan beberapa hal yang belum disepakati untuk dibahas kembali pada COP berikutnya,” kata Tuti H.Mintarsih dalam rilis yang diberikan pada media, Sabtu (6/5/2017).
Bahan kimia pertama merupakan formulasi cair (konsentrat yang dapat diemulsikan dan konsentrat larut) yang mengandung paraquat diklorida. Paraquat adalah bahan kimia beracun yang lazim dipakai sebagai herbisida atau pembunuh tanaman yang biasanya digunakan untuk pengendalian ilalang dan rumput. Kemudian formulasi fenthion yang diantaranya digunakan pada saat pengasapan (fogging) untuk mengurangi kemungkinan penularan nyamuk Aedes aegepty.
Selanjutnya Chrysotile asbestos yang lazim digunakan dalam industri konstruksi. Bahan asbestos beracun dan dapat mengakibatkan sejumlah penyakit paru-paru hingga kematian. Yang terakhir yaitu Carbosulfan, bahan aktif yang digunakan pada insektisida.
Untuk bahan kimia Paraquat dan Carbosulfan, Sekretariat masih memberikan waktu bagi Negara pihak termasuk Indonesia untuk mempertimbangkan kembali. Hal ini dikarenakan masih diperlukan kajian/penelitian yang mendalam agar kedua bahan tersebut masuk dalam lampiran III konvensi Rotterdam pada COP BRS berikutnya.
Sedangkan dua bahan kimia lainnya yaitu: Fenthion dan Chrysotile asbestos, posisi Indonesia mendukung bahan tersebut masuk dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam. Namun beberapa Negara masih menolak dimasukkannya kedua bahan tersebut kedalam Lampiran III, sehingga diputuskan akan dibahas kembali pada COP berikutnya.
Delegasi Indonesia pada COP kali ini diketuai oleh Dirjen PSLB3, Tuti Hendrawati Mintarsih dan didukung oleh Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan dari Kementerian Pertanian, Mukti Sardjono.
“Pada tahun 2017, Kementerian Pertanian akan menyediakan anggaran untuk membuat kajian/penelitian terkait dampak kesehatan dan lingkungan termasuk substitusi penggantinya dari Liquid Formulasi Paraquat dan Carbosulfan,” ujar Mukti Sardjono.
Penelitian ini berguna untuk mengklarifikasi penelitian dari Burkina Faso. Hasil dari penelitian ini akan disampaikan ke Sekretariat BRS untuk dibahas pada COP berikutnya.