"MEMBANGUN KOMITMEN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM GAMBUT",
https://www.jakartaforum.web.id/2017/05/membangun-komitmen-perlindungan-dan.html
Jakarta -"MEMBANGUN KOMITMEN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM GAMBUT", Implementasi kebijakan perlindungan pengelolaan kawasan gambut oleh para stakeholder diharapkan menjadi komitmen bersama dalam menjaga ekosistem gambut dari kerusakan lingkungan dan ancaman kebakaran. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewakili Menteri LHK, dalam mengawali Sosialisasi Implementasi Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut bagi Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut di Jakarta (05/05/2017).
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut bertujuan untuk memperkuat peraturan sebelumnya yaitu PP Nomor 71 Tahun 2014. Sebagaimana sebelumnya untuk pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), sosialisasi kali ini menjelaskan aturan pengelolaan gambut bagi pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut.
“Dalam PP No. 57 Tahun 2016, sudah dijelaskan bagaimana pengelolaan kawasan gambut yang harus dipatuhi oleh pemegang konsesi, mulai tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pengawasan”, ujar Bambang. Berkenaan dengan upaya perlindungan ekosistem gambut, terdapat tiga unsur penting dalam tahap pengendalian, yaitu pencegahan (kerusakan dan kebakaran), penanggulangan, dan pemulihan.
Bambang juga kembali mengingatkan, bahwa tujuan utama perlindungan gambut adalah, untuk mencegah terjadinya bencana kebakaran di lahan gambut. Terkait penetapan tinggi muka air tanah (TMA) sebesar 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan, sebagai batas kriteria baku kerusakan gambut, disampaikan Bambang telah melewati beberapa kajian teknis.
Hal ini juga diperjelas oleh Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, yang menyatakan bahwa batas TMA tersebut dapat mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. “Dengan TMA 0,4 meter pada musim kemarau, air tanah masih bisa naik ke permukaan dan melembabkan tanah gambut sampai pada lapisan permukaan, dengan syarat bahwa permukaan pada wilayah budidaya harus ada vegetasi penutup”, jelas Nazir. Pada batas TMA ini, dikatakan Nazir, tanaman perkebunan dan tanaman HTI dapat tumbuh relatif baik, sebagaimana contoh perkebunan sawit di Bengkalis dan HTI di Kubu Raya.
Turut hadir sebagai narasumber, Direktur Perlindungan Perkebunan, Dudi Gunadi, mewakili Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, yang menyampaikan bahwa, Kementerian Pertanian memprioritaskan upaya pencegahan kebakaran sedini mungkin. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mewajibkan setiap perusahaan memiliki sarana prasarana penanganan hama penyakit dan pengendalian kebakaran lahan dan perkebunan.
“Kedua kebijakan dari KLHK dan Kementan sama-sama mendukung upaya pencegahan kebakaran gambut, jadi tidak ada hal yang harus dipertentangkan, dan dapat saling melengkapi. Dengan demikian, diharapkan perusahaan perkebunan dapat mematuhi seluruh kebijakan yang berlaku”, ujar Dudi menutup paparannya.
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut bertujuan untuk memperkuat peraturan sebelumnya yaitu PP Nomor 71 Tahun 2014. Sebagaimana sebelumnya untuk pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), sosialisasi kali ini menjelaskan aturan pengelolaan gambut bagi pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut.
“Dalam PP No. 57 Tahun 2016, sudah dijelaskan bagaimana pengelolaan kawasan gambut yang harus dipatuhi oleh pemegang konsesi, mulai tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pengawasan”, ujar Bambang. Berkenaan dengan upaya perlindungan ekosistem gambut, terdapat tiga unsur penting dalam tahap pengendalian, yaitu pencegahan (kerusakan dan kebakaran), penanggulangan, dan pemulihan.
Bambang juga kembali mengingatkan, bahwa tujuan utama perlindungan gambut adalah, untuk mencegah terjadinya bencana kebakaran di lahan gambut. Terkait penetapan tinggi muka air tanah (TMA) sebesar 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan, sebagai batas kriteria baku kerusakan gambut, disampaikan Bambang telah melewati beberapa kajian teknis.
Hal ini juga diperjelas oleh Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, yang menyatakan bahwa batas TMA tersebut dapat mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. “Dengan TMA 0,4 meter pada musim kemarau, air tanah masih bisa naik ke permukaan dan melembabkan tanah gambut sampai pada lapisan permukaan, dengan syarat bahwa permukaan pada wilayah budidaya harus ada vegetasi penutup”, jelas Nazir. Pada batas TMA ini, dikatakan Nazir, tanaman perkebunan dan tanaman HTI dapat tumbuh relatif baik, sebagaimana contoh perkebunan sawit di Bengkalis dan HTI di Kubu Raya.
Turut hadir sebagai narasumber, Direktur Perlindungan Perkebunan, Dudi Gunadi, mewakili Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, yang menyampaikan bahwa, Kementerian Pertanian memprioritaskan upaya pencegahan kebakaran sedini mungkin. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mewajibkan setiap perusahaan memiliki sarana prasarana penanganan hama penyakit dan pengendalian kebakaran lahan dan perkebunan.
“Kedua kebijakan dari KLHK dan Kementan sama-sama mendukung upaya pencegahan kebakaran gambut, jadi tidak ada hal yang harus dipertentangkan, dan dapat saling melengkapi. Dengan demikian, diharapkan perusahaan perkebunan dapat mematuhi seluruh kebijakan yang berlaku”, ujar Dudi menutup paparannya.