Ketimbang Revisi, Baiknya Jalankan Maksimal UU LLAJ

Jakarta -  Ketimbang Revisi, Baiknya Jalankan Maksimal UU LLAJ. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan melihat isu transportasi berbasis aplikasi (Ride-hailing) secara komprehensif dengan memprioritaskan amanat dari Undang-Undang Nomor  22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ketimbang memikirkan revisi dari regulasi tersebut.

"Jika dicermati, yang diperlukan sekarang ini bukan revisi, melainkan implementasi dari seluruh amanat UU LLAJ yang belum terimplementasi, baik menyangkut soal pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu; pengembangan angkutan umum massal, maupun pengembangan angkutan tidak bermotor dan pejalan kaki," kata Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas di Jakarta, Selasa (24/4).


 Menurutnya, UU LLAJ telah memiliki semangat untuk mendukung pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. "Sayang, amanat UU LLAJ ini banyak yang belum diimplementasikan, meski usianya sudah sembilan tahun. Di lapangan, kita dapat melihat kondisi angkutan umum di perkotaan maupun pedesaan seluruh wilayah tanah air mati suri. Hanya di beberapa kota dan daerah saja yang angkutan dengan menggunakan bus kecil (angkot) atau sedang masih bertahan dan mampu menghidupi pengemudinya," sesalnya.

Ditambahkannya, saat ini belum terlihat strategi jitu untuk penyelamatan angkutan umum di seluruh wilayah tanah air. Padahal, itu amat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi, utamanya sepeda motor.

Program pengembangan angkutan umum massal yang dijalankan oleh Kementerian Perhubungan masih bersifat fisik dengan bagi-bagi bus saja, belum disertai dengan pendampingan teknis dan kelembagaan agar daerah dapat mengoperasikan kendaraan tersebut.
  
"Kalau hanya karena ada teknologi, terus kita revisi UU, bisa capek karena perubahan sangat cepat. Sebenarnya, filosofi sudah ada di UU LLAJ, soal teknis serahkan saja dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Misal,  taxi  online cukup diatur dengan PM 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Ini mengingat taxi online atau yang dalam PM No. 108/2017 disebut Angkutan Sewa Khusus (ASK) itu bukanlah moda baru yang memiliki konsekuensi hukum perlu pengaturan tersendiri, melainkan hanyalah sistem mendapatkan penumpang saja," paparnya.

Hal yang sama untuk ojek online (ojol) tidak perlu mengubah UU. Secara hukum, posisi ojol itu sama dengan ojek pangkalan (opang), sama-sama mempergunakan sepeda motor sebagai sarana transportasinya. Keberadaan ojek di kota-kota di Indonesia sudah lebih dari 40 tahun. Pada saat pembahasan RUU LLAJ, status ojek motor sudah dibahas, tapi semua (legislatif dan eksekutif) sepakat bahwa UU LLAJ tidak mengatur keberadaan ojek motor dengan alasan keselamatan.

Data Korlantas mencatat bahwa rata-rata 85 orang per hari meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dan dari jumlah tersebut, 72% (55,5 orang) melibatkan sepeda motor. Ini artinya sepeda motor bukan moda transportasi yang berkeselamatan, sebaliknya menjadi mesin pembunuh (jalanan) terbesar di Indonesia, mengalahkan narkoba yang membunuh rata-rata 50 orang per hari.

"Jadi, sangat tidak fair ketika masih opang tidak didengarkan suaranya, tapi setelah menjadi ojol, yang di belakangnya ada topangan kapital besar (yang dimiliki oleh aplikator), kemudian akan dilegalkan menjadi angkutan umum," tukasnya.

Diakuinya, ojek motor, baik opang maupun ojol, diperlukan masyarakat tidak dapat ditolak. Tapi, perlu diketahui, itu merupakan anomali (penyimpangan) dalam sistem transportasi yang disebabkan oleh buruknya layanan transportasi umum.

Karena itu, yang perlu dilakukan bukan melegalkan ojek motor sebagai sarana angkutan umum, melainkan memperbaiki layanan angkutan umumnya. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah perlu memiliki komitmen yang sama untuk memperbaiki layanan angkutan umum di daerah masing-masing.

"Tidak ada transportasi publik di dunia yang tanpa subsidi (kecuali MRT di Hongkong dan Seoul, karena mereka mengembangkan TOD/Transit Oriented Development). Jadi, erikanlah subsidi untuk angkutan umum. Bila layanan angkutan umumnya bagus, orang secara otomatis akan meninggalkan ojek, sehingga tidak perlu dilegalkan dalam UU LLAJ," pungkasnya. @Rudy

Related

Peristiwa 3143835180941139362
jasa-ekspedisi
Ajang Berita

Hubungi kami

Nama

Email *

Pesan *

Jumlah Pengunjung

item