Peluang dan Tantangan Pendanaan Penanggulangan Perubahan Iklim di Indonesia

Jakarta - Perubahan iklim merupakan fenomena nyata yang menjadi keprihatinan global. Saat ini setiap negara mempunyai kepedulian sama terhadap masalah perubahan iklim. 

Hasil studi Dewan Nasional Perubahan Iklim 2010 menyebutkan bahwa 85 persen dari total emisi nasional Indonesia berasal dari alih guna lahan dan kehutanan.

Hal ini sejalan dengan derasnya kebijakan pembukaan lahan/ perhutanan pada era pemerintahan SBY, saat menteri kehutanan dijabat oleh Zulkifli Hasan, pada tahun 2009, yang mencapai dengan luas 1,64 juta hektar, atau hampir 25 kali lipat luas DKI Jakarta.


Dalam kancah hubungan tingkat global untuk penanggulangan perubahan iklim ini, sudah ada kesepakatan-kesepakatan global yang pada umumnya diinisiasi oleh Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) di bawah lembaga konvensi kerangka kerja Perserikatan bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Perkembangan selanjutnya, perundingan-perundingan terkait perubahan iklim digelar rutin setiap tahunnya dalam kerangka Conference of Parties (CoP). Yang dimaksudkan untuk terus menjaga konsistensi komitmen para negara pihak terkait penurunan emisi, termasuk juga mengenai mekanisme pendanaan perubahan iklim lewat kerja sama yang bersifat bilateral dan multilateral, dan dalam bentuk hibah, hutang, teknikal asisten maupun peningkatan kapasitas.

Green Climate Fund (GCF) adalah entitas pelaksana dari mekanisme keuangan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang didirikan di Cancun, Meksiko tahun 2010. Secara resmi GCF mulai beroperasi pada 2015 dan berkantor pusat di Songdo, Korea Selatan. GCF mendanai sejumlah area yang diharapkan dapat membawa dampak strategis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Untuk dampak strategis mitigasi, pendanaan GCF diharapkan dapat mengurangi emisi dari pembangkit energi, transportasi, penggunaan hutan dan lahan, serta bangunan, perkotaan, industri, dan peralatan. Sedangkan untuk dampak strategis adaptasi, pendanaan GCF diharapkan dapat meningkatkan ketahanan dari kesehatan pangan dan air, mata pencaharian masyarakat dan komunitas, ekosistem, infrastruktur, dan lingkungan.

Lembaga yang boleh mengajukan proposal pendanaan dari GCF adalah lembaga yang terakreditasi oleh GCF Internasional. Selain Lembaga Terakreditasi (Accredited Entity/AE), ada juga yang disebut National Designated Authority (NDA). Keduanya adalah komponen utama dalam akses pendanaan GCF.
GCF bekerja melalui AE untuk menyalurkan pendanaannya terhadap suatu proyek atau program. Negara-negara berkembang memiliki NDA untuk menjadi penghubung utama antara GCF dan negara tersebut. Di Indonesia, yang berperan sebagai NDA adalah Kementerian Keuangan, khususnya Badan Kebijakan Fiskal.
Tugas utama NDA adalah menentukan program negara terkait perubahan iklim. 

Jika nanti ada usulan proyek dari sektor swasta, NDA akan mengevaluasi apakah usulan tersebut cocok dengan program negara. Konsultasi tentunya dilakukan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, dan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait. Setelah memastikan hal-hal tersebut, LEMBAGA NDA bertugas untuk mengeluarkan no objection letter dan memberitahu GCF bahwa pemerintah tidak keberatan atas usulan pendanaan dari lembaga yang mengajukan proposal tersebut.

Proyek di Indonesia yang telah disetujui oleh GCF di antaranya: Pengembangan Bus Rapid Transit di Semarang oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) oleh Bank Dunia, Climate Investor One oleh Entrepreneurial Development Bank (FMO), dan Program Kesiapan GCF oleh Global Green Growth Institute (GGGI) untuk memperkuat kapasitas institusi NDA dan Lembaga Terakreditasi Nasional.

Related

Peristiwa 8825318923491776085
jasa-ekspedisi
Ajang Berita

Hubungi kami

Nama

Email *

Pesan *

Jumlah Pengunjung

item