DIDUGA TIM SIDANG MEWAKILI DIREKTUR JENDERAL PAJAK MEMBERIKAN TANGGAPAN YANG TIDAK BERDASAR HUKUM ATAS SURAT KUASA KHUSUS PENGGUGAT


Jakarta Forum -  Pajak. Senin, (31/01/2022) Pukul 15.00 WIB, PT Jesi Jason Surja Wibowo yang diwakili oleh kuasa hukumnya dari Rey & Co Jakarta Attorneys At Law yaitu Alessandro Rey, SH, MH, MKn, BSC, MBA (selanjutnya disebut “Penggugat”) menghadiri sidang kedua di Pengadilan Pajak yang diperiksa, diadili dan akan diputus oleh Majelis Hakim VIII A, melawan Direktur Jenderal Pajak yang diwakili oleh Dody Doharman dan Tumijan Kriswanto (selanjutnya disebut “Tergugat”);

Adapun Hakim Majelis VIII A terdiri dari, Erry Sapari Dipawinangun SH, MH selaku Hakim Ketua, Nany Wartiningsih SH, MSi, dan Benny Fernando Tampubolon SE, MM, MAk, MHum, CA, masing - masing selaku Hakim Anggota;

Bahwadalam persidangan kedua tersebut, Tergugat mengajukan keberatan pertama mengenai Kuasa Penggugatkarena tidak memenuhi ketentuan formal sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut “UU KUP”)Jo.Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut “PMK 229/2014”) yang mana menurut Tergugat “yang dapat menjadi kuasa mewakili wajib pajak hanyalah seorang konsultan pajak  dan karyawan wajib pajak dengan persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang – undangan  di bidang perpajakan, memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa, memiliki  Nomor Pokok Wajib Pajak, telah menyampaikan SPT Tahun Pajak Terakhir, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, oleh karena itu Syarat tersebut adalah bersifat kumulatif, maka jika satu dilanggar surat kuasa khusus tersebut tidak berlaku” Tegas Dody Doharman selaku wakil dari Tergugat;

Bahwa kemudian Tergugat juga menyampaikan keberatan kedua mengenai “Surat Kuasa Khusus Penggugat juga dibuat tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah  Nomor 74 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut “PP 74/2011”), sehingga syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, jika salah satu dilanggar maka melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka dengan kata lain Surat Kuasa Khusus Penggugattidak dapat diterima  dan Gugatan Penggugat harus dinyatakan batal demi hukum karena cacat formil atau Niet Ontvankelijke (NO)” tambah Dody Doharman selaku wakil dari Tergugat;

Bahwa perlu Penggugat jelaskan “yang pertama, kuasa itu dapat dibagi menjadi dua yaitu: kuasa di dalam pengadilan dan diluar pengadilan. Jika dikaitkan dengan dalil keberatan tergugat mengenai seorang kuasa Penggugat yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUPadalah kuasa di luar pengadilan. Adapun Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berbunyi(Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan) Jo. Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014 (Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. konsultan pajak; dan b. karyawan wajib pajak) dan Pasal 4 ayat (1)PMK 229/2014 (Seorang Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di  bidang perpajakan; b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa; c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan);

Bahwa sedangkan kuasa di dalam pengadilan itu diatur di dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “UU PP”)  (Para Pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus) &Pasal 34 ayat 2 UUPP (Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia, b. mempunyai pengetahuan luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan; c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri),dan Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor Per 01/PP/2018 tentang Tata Cara Permohonan Izin Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “PER 01/2018”), sehingga sepanjang memenuhi persyaratan Pasal 34 ayat 1& 2UU PP dan mempunyai Izin Kuasa Hukum berdasarkan ketentuanPER 01/2018,  Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagai Seorang Kuasa dalam Pengadilan Pajak;

Bahwa kemudian terkait kuasa di luar pengadilan yang menurut Tergugat hanya terbatas pada konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak sebagaimanatelah diatur dalam Pasal 2 ayat 4 Jo Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014Jo. Pasal 49 ayat (2) PP 74/2011 dan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) PP 74/2011 adalah penafsiran yang menyesatkan karena pemberian kuasa tidak dibatasi pada konsultan pajak dan karyawan wajib pajak sajaatau tidak bersifat limitatif kepada konsultan pajak dan karyawan wajib pajak saja tetapi juga kepada setiap orang yang mempunyai kompetensi  di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan sertifikat brevetsebagaimana telah dimuat dengan tegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 (selanjutnya disebut “Putusan MK 63/2017”) yang pada pokoknya menerangkan bukan hanya konsultan pajak dan karyawan wajib pajak yang dapat menjadi kuasa wajib pajak tetapi setiap orang termasuk advokat dapat menjadi wakil wajib pajak sepanjang mempunyai kompentensi di bidang perpajakan”

Bahwa perlu Penggugat jelaskan ketentuan Pasal 49 ayat 2 PP 74/2011 Jo. Penjelasan Pasal 49 ayat 3 PP 74/2011 dan Pasal 2 ayat 4 Jo. Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014 adalah turunan dari Pasal 32 ayat 3a UU KUP yang telah dibatalkan oleh Putusan MK No. 63/2017 dan telah diubah dalam Pasal 2 angka 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut “UU HPP”);

Bahwa dalam Norma Pasal 2 angka 9 UU HPP(Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat 3, harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua)yang pada pokoknya telah membatalkan Pasal 32 ayat 3a UU KUP & mengakomodir Putusan MK 63/2017. Dalam Norma Pasal 2 angka 9 UU HPP tersebut secara tegas tidak diatur mengenai pembatasan seorang kuasa, dengan kata lain setiap orang dapat menjadi seorang kuasa di bidang perpajakan sepanjang mempunyai kompetensi tertentu di bidang perpajakan;

Bahwa berdasarkan Prinsip/Asas Hukum Lex Posteriori derogat Legi Priori yang artinya ketentuan hukum yang terbaru mengesampingkan ketentuan hukum yang sebelumnya, maka Putusan MK 63/2017 Jo. Pasal 2 angka 9 UU HPP telah mengesampingkan Pasal 32 ayat 3a UU KUP Jo. Pasal 49 ayat 2 Jo. Penjelasan Pasal 49 ayat 3 PP 74/2011 Jo. Pasal 2 ayat 4 Jo. Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014, sehingga dengan berlakunya UU HPP telah mengesampingkan UU KUP, PP 74/2011, dan PMK 229/2014sepanjang mengenai penunjukkan seorang kuasa”; ujar Alessandro Rey selaku Kuasa Hukum Penggugat;

Bahwa kemudian “yang kedua, mengenai Surat Kuasa Khusus Penggugat yang dibuat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yang mana maksud tergugat adalah Pasal 32 ayat (3) UU KUP (Orang Pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) Jo. Pasal 49 ayat (4) PP 74/2011 (Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat: a. nama, alamat, dan tandatangan di atas materai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa; b. nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa; dan c. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan) Jo.Pasal 7 ayat (1) PMK 229/2014 (Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b paling sedikit memuat; a. nama, alamat, dan tanda tangan di atas materai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak Pemberi Kuasa; b. nama, alamat, dan tanda tangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak Penerima Kuasa, dan; c. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan yang mencakup keperluan perpajakan, jenis pajak, dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, Tahun Pajak)merupakan Surat Kuasa Khusus di luar Pengadilan, yang digunakan untuk keperluan perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, bukan dalam hal dalam beracara di dalam Pengadilan Pajak”; tegasAlessandro Rey selaku Kuasa Hukum Penggugat;

Bahwa adapun “Surat Kuasa Khusus di luar pengadilan yang menurut Tergugat dibuat tidak sesuai dengan Pasal 49 Ayat 4 PP 74/2011 Jo. Pasal 7 ayat 1 PMK 229/2014 adalah merupakan persyaratan pembuatan surat kuasa khusus bagi konsultan pajak dan karyawan dan bukan diperuntukkan untuk yang bukan konsultan pajak dan bukan karyawan wajib pajak, lagipula tidak ada norma hukum yang mengatur tentang format pembuatan Surat Kuasa Khusus diluar pengadilan karena PMK 63/2017 dan UU HPP tidak secara tegas mengatur mengenai format Surat Kuasa Khusus bagi yang bukan Konsultan Pajak dan yang bukan Karyawan Wajib Pajak yang mengharuskan untuk mencantumkan NPWP;

Bahwa Putusan MK 63/2017 Jo. UU HPP Juga tidak menyatakan secara tegas dengan tidak dicantumkannya NPWP maka Surat Kuasa Khusus menjadi tidak dapat diterima atau menghapuskan hak Penerima Kuasa untuk melakukan hak & kewajiban perpajakan Pemberi Kuasa;

Bahwa sedangkan mengenai Surat Kuasa Khusus di dalam Pengadilan hanya tunduk kepada Bagian E Angka 1 dan 3Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 32 Tahun 2007 (selanjutnya disebut “KMKA 32/2007”), Pasal 57 PERATUN, Pasal 1792 KUHPer, SEMA Nomor 2 Tahun 1991, dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, yang mana di dalam peraturan tersebut tidak mengatur mengenai keharusan untuk mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa pada Surat Kuasa Khusus untuk Keperluan beracara di dalam Pengadilan Pajak”; tambah Alessandro Rey selaku Kuasa Hukum Penggugat;

Bahwa adapun “UU KUP sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP adalah Hukum Formil dibidang perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan adalah turunan dari Hukum Formil sepanjang diamanatkan oleh UU KUP  stdtd.  UU HPP sebagai UU yang lebih tinggi kepada PMK sebagai peraturan yang lebih rendah karenanya surat kuasa yang dibuat untuk kepentingan beracara di Pengadilan Pajak tidak diatur dalam UU KUP dan PMK 229/2014 tetapi tunduk pada UU PP karena ketentuan yang mengatur surat kuasa khusus yang digunakan dalam Pengadilan Pajak adalah UU PP sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU PP Jo. SEMA 2/1991 Jo. SEMA 6/1994 bukan PMK 229/2014;

“Bahwa adapun Salah Satu Surat Kuasa Khusus Penggugat yang telah penggugat gunakan di Pengadilan Pajak adalah Surat Kuasa Nomor 252/SK-SR/RnC/VIII/2020,dalam perkara antara Sri Roosmini yang diwakili Penggugat melawan Direktur Jenderal Pajak adalah Surat Kuasa Khusus yang sama, yang digunakan Penggugat tanpa mencantumkan NPWP dalam perkara a quo dan tidak dipermasalahkan oleh Majelis Hakim IB Pengadilan Pajak, bahkan gugatan Penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, sehingga sepatutnya Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak menyatakan Keberatan Tergugat tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada” tambah Rey;

Bahwa sebaliknya, Tergugat adalah Tim Sidang yang tidak berwenang mewakili Direktorat Jendral Pajak untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Pajak, karena Tergugat hanya menyampaikan 1 (satu) Surat Tugas untuk 24 (dua puluh empat) sengketa pajak, sehingga mutatis mutandis sepatutnya Tergugat menyampaikan 24 (dua puluh empat) Surat Tugas untuk 24 (dua puluh empat) sengketa pajak atau dengan kata lain Surat Tugas Tergugat diberlakukan sama dengan Surat Kuasa Khusus Penggugat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 5 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER 001/PP/2010 tentang Tata Tertib Persidangan Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “PER 001/2010”) (Kuasa Hukum yang mewakili Pemohon Banding/Penggugat di persidangan harus mendapat Surat Kuasa Khusus dari Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk setiap Sengketa Pajak) dan Pasal 4 ayat 7 PER 001/2010 (Bagi Pegawai Negeri Sipil yang mewakili Terbanding/Tergugat, Surat Tugas yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dipersamakan dengan Surat Kuasa Khusus);

Bahwa selain Tergugat hadir di Pengadilan Pajak tanpa 24 (dua puluh empat) Surat Tugas,Surat Tugas Tergugat juga tidak mencantumkan Nomor Surat Panggilan Sidang dan Tanggal Surat Panggilan sidang, sehingga melanggar prosedur penerbitan surat tugas dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 65/PJ/2012 tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “SE 65/2012”);

“Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalil Tergugat yang menyatakan Surat Kuasa Khusus Penggugat tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan yang berlaku sangatlah mengada-ada, menyesatkan, dan tidak berdasar hukum, oleh karena itu dalil tersebut demi hukum haruslah ditolak atau setidak-tidaknya dikesampingkan” Tegas Rey;

“Bahwa berdasarkan uraian alasan dan dasar hukum diatas, Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak Demi Hukum harus menyatakan Surat Tugas Tergugat tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya menyatakan Tergugat tidak berwenang mewakili Direktur Jenderal Pajak dalam perkara a Quo” Tambah Rey;
 “Kami mohon kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung serta Ketua Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan dan mengawal jalannya persidangan antara PT Jesi Jason Surja Wibowo melawan Direktur Jenderal Pajak” Tutup Rey.[pr45]







Related

Hukum 6972427987516384881
jasa-ekspedisi
Ajang Berita

Hubungi kami

Nama

Email *

Pesan *

Jumlah Pengunjung

item